Perangkat Canggih
Selamat malam hujan. Terima kasih sudah mau berkunjung malam ini. Terdengar jelas besarnya deruanmu dibalik dinding kamar. Angin dingin ulahmu juga menyelinap masuk lewat jendela yang sengaja aku beri ruang. Dan di balik selimut tebal, aku malah terpikirkan kisah lampau. Ah memang, sebuah perangkat paling canggih antara hujan dengan kisah-kisah terdahulu, yang sering kita sapa sebagai kenangan.
Ingatanku tertuju pada hari dimana hujan seakan mendukung peristiwa itu terjadi.
"Yaudah kita cari tempat berteduh dulu" katanya lantas mempercepat laju roda dua.
"Cepetan, aku dingin" aku menggerutu, memukul helmnya.
Akhirnya kami tiba di salah satu pom bensin. Merapat menuju mushola. Tak ada orang, hanya kita berdua. Aku duduk di depan teras mushola. Dia hanya menyimpan tas, kemudian mendekati motornya lagi.
"Yahh aku cuma bawa satu jas ujan" katanya setelah menutup jok motornya.
"Yaudah gpp ko kalo aku yang hujan-hujanan"
"Yakin? Sosoan kamu!"
"Ya terus mau gimana?"
"Yaudah kamu mau pake celana apa bajunya?"
"Hah? Bagi dua?"
"Iya biar adil"
"Ah enggak adil kalo kaya gitu"
"Terus tuan putri ini maunya apa?" katanya meledekku.
"Tunggu reda" aku tersenyum sedikit manja.
Tanpa menjawab dia sudah berjalan ke arahku. Duduk di sebelahku. Menyender pada tembok lalu menengok ke arahku.
"Kenapa?" tanyaku.
Dia hanya tersenyum. Manis sekali. Aku terpana lantas tak lagi memberi tanya.
Tak lama. Dia mengeluarkan suara.
"Nanti kalau kita udah enggak bareng lagi gimana? Nanti kamu pergi. Aku juga bakal pergi. Sama-sama mengikuti arus kehidupan. Entah akan seperti apa. Kita akan saling berkomunikasi atau enggak, juga enggak ada yang tau."
"Emang mau kemana?"
"Kita sama-sama paham. Kamu enggak perlu nanya gitu."
"Aku enggak mau bahas soal perpisahan."
Aku diam. Dia diam.
Kemudian, aku bersuara lirih, "Jelas-jelas aku tidak siap dengan perpisahan."
Dia menatap aku yang bermuram melihat keramik mushola. Tak berkata lagi, dia lantas berdiri, melepas jaketnya yang super besar dan memasangkannya ke bahuku yang masih duduk diam, lantas memasukan tanganku yang sangat terasa kecil dan menarik resleting jaketnya di badanku.
"Ayo. Nanti keburu malam" dia menyodorkan tangannya untuk membantu aku berdiri.
Aku hanya tersenyum. Mengikutinya ke arah tempat motor berada.
***
Peristiwa sederhana yang sangat membahagiakan. Mungkin beberapa diantara kalian berpikir itu bukan hal luar biasa yang perlu dipamerkan. Aku hanya terkenang, pernah ada saatnya aku begitu diperhatikan dan sangat takut kehilangan :")
Komentar
Posting Komentar