Fajar Kepada Anggi
"Tadi pagi, Ibuku bilang kalau dia enggak suka kamu keluyuran terus. Maunya kamu sering-sering aja di rumah." katamu, segan-segan.
Senyum di wajahku terhenti. Meninggalkan tatapan kaget sekaligus sedih. Sayangnya, kamu juga tidak tau harus berkata apa lagi. Lebih sayangnya lagi, udara di luar sungguh tidak mendukung untuk berbicara secara perlahan. Hujan besar yang ditemani petir menggelegar tiba-tiba datang.
Kedai kopi malam itu bisa dibilang tidak ramai. Hanya terisi tiga meja dari sepuluh meja yang ada. Barista sibuk membuat pesanan kopi. Jam berdetak tak terdengar. Fajar diam. Aku lebih diam. Kami berdua berbicara dalam diam di ujung kanan ruang kedai. Memikirkan bagaimana nasib cincin yang sudah melingkar di jari manisku. Baru satu minggu yang lalu. Fajar mengajak Aku menikah, lalu memberikan cincin secara mandiri. Keluarganya belum datang ke rumah, karena Fajar ingin aku sendiri yang membuat konsep acaranya.
Tapi saat ini, aku seperti disambar petir. Kaget lalu tak sadarkan diri. Aku mengelus-elus cincin di jari, yang kemudian aku lepaskan. Aku simpan di meja tepat di hadapan Fajar berada. Aku belum bicara, begitu juga Fajar, baru menjawab dengan tatapan terheran-heran.
"Kamu jangan aneh-aneh ya Anggi" kata Fajar sedikit teriak agar terdengar.
Aku menunduk. Tidak berani melihat amarah sendu yang terbentuk di wajah Fajar.
Fajar memegang tanganku. Mulai berbicara perlahan ketika pertir sudah mulai menghilang. "Kita bisa melawati semuanya ko."
Aku masih diam, mencari kekuatan. Lalu mengangkat wajah, mulai berbicara, "Jar, Aku bingung. Aku enggak mau menyudutkan kamu di posisi sulit ini. Tapi itu ibu kamu jar, siapa lagi yang harus kamu utamakan selain dia. Aku takut jar, Aku takut gabisa jadi istri yang ibu kamu mau untuk anaknya. Pekerjaan Aku, hobi Aku, kamu tau itu. Aku gabisa merelakan hal itu jar."
Fajar menatapku penuh rasa bersalah. Aku tak kuasa menahan tangis. Maka malam itu aku menangis sejadi-jadinya, menambahkan kebisingan hujan yg masih rintik-tintik.
Komentar
Posting Komentar