[Resensi Buku] Puya ke Puya
![]() |
pict by pisangkuning |
Judul Buku Puya ke Puya. Penulis Faisal Oddang. Penerbit Gramedia. Tahun Terbit 2015. Jumlah Halaman 218 hlm.
Sebagai orang awam yang tak
terlalu paham dengan adat Toraja, aku mengenal cukup baik bagaimana tradisi
yang dijunjung tinggi di sana, tentunya dengan perpektif dari sang penulis,
Faisal Oddang. Banyak pula kata-kata asal Toraja yang pastinya tidak aku pahami
di dalam buku ini. Bersyukurnya penulis dengan detail menjelaskan setiap kosa
kata yang dapat memudahkan pembaca. Menceritakan sebuah perjalanan kehidupan
serta kematian seseorang menuju puya –yang
berarti surga, yang tidak sekadar meninggal lalu di kubur. Tidak semudah itu. Puya
punya aturan bagi yang menginginkannya. Tatanan kehidupan yang kotor juga
terlihat dari sana, katanya. Hukum adat yang harus dipatuhi itu, dikisahkan di
sini.
Tradisi rambu solo –sebutan untuk adat kematian
seseorang, yang masih tegak berdiri sampai hari ini. Tidak mudah untuk mencabut
akar yang kuat dari pohon yang sudah tertanam ratusan tahun, seperti yang Allu
Ralla lakukan dalam cerita. Kematian Rante Ralla –ayahnya Allu (dalam Bahasa Toraja
disebut dengan Ambe), adalah konflik pertama. Warisan yang tersisa hanya rumah tongkonan.
Sedangkan rambu solo, yang harus
menuntut adanya kerbau belang dengan harga mahal, puluhan jenis kerbau lainnya dan
ratusan babi. Allu yang masih menyandang status mahasiswa di tahun ketujuh,
belum memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan adat itu. Pikirnya, Ia ingin
menguburkan Ambenya di Makassar, lepas dari adat. Bersamaan dengan itu, konflik
lainnya berdatangan. Tanah tongkonannya diinginkan perusahaan tambang untuk
mempermudah akses mereka. Mereka sanggup membayar mahal untuk itu. Lalu gadis yang
dicintai Allu sejak lama telah datang kembali, tidak mau pacaran lantas meminta
Allu untuk menikahinya. Belum lagi kesedihan Tina Ralla –ibunya Allu (dalam Bahasa
Toraja disebut dengan Indo) yang selalu berwajah muram dan diam sejak kematian
Ambenya.
Penulis bercerita dengan struktur
yang jelas. Awalnya aku berpikir bahwa alurnya sedikit rumit, tapi setelah baca
bab awal, aku rasa ini bersifat unik. Pembaca dapat mengetahui tiga sudut
pandang sekaligus dari tokoh cerita, Allu, Rante, dan Maria –adik Allu.
Pergantian bagian sudut pandang yang hanya diarahkan dengan tanda bintang dalam
tiap nama tokoh, jadi pembaca harus lebih jeli. Dalam cerita, sebelum Rante
Ralla meninggal, keluarga tersebut sudah merasakan kehilangan. Seorang bayi yang
meninggal karena sakit perut dan kemudian di kubur di passiliran –lubang makam di batang pohon tarra yang ditutup ijuk. Semakin
tinggi makam bayi maka semakin tinggi derajat sosial keluarganya, dan di batang
paling atas, Maria di kubur. Rante adalah ketua Adat Kampung Kete’, karena hal
itu pula, rambu solo harus digelar
dengan sangat istimewa, mengangkat nama keluarga. Seakan terbawa suasana,
rasanya kalut sekali jika aku menjadi Allu. Satu-satunya warisan kini sudah
jadi miliki orang, pada akhirnya. Mengejar uang dengan berbagai cara termasuk
cara termasuk mencuri bayi, untuk memenuhi segala kebutuhan pemakaman dan pernikahan.
Allu yang seperti dibutakan cinta kemudian sadar ketika ternyata dia hanya
boneka yang dipermainankan oleh orang-orang berkepentingan di perusahaan tambang.
Pembaca juga disuguhkan kesakitan
batin Tina Ralla. Sayangnya Tina tidak diberi kehendak oleh Penulis untuk
memberikan sudut pandang sendiri dalam tiap kejadian, seperti anggota
keluarganya yang lain. Tina yang diam menyimpan amarahnya, mungkin sudah tak tahan
lagi, rahasia yang disimpannya terkuak di depan semua keluarga dan sanak
saudara yang semakin bermuram durja dengan orang-orang berkepentingan di
perusahaan tambang setelah meratakan tongkonannya, yang ternyata menjadi dalang
atas kematian Rante Ralla.
Lantas puya yang menjadi pertanyaan yang selalu diulang penulis, tidak dijelaskan
secara rinci. Hanya bisa terjawab jika kalian menyadari kisah ini menyimpan
pesan secara tersirat. Melalui kisah-kisah yang terjadi, alam kematian adalah
tempat yang paling tenang. Pertegas diri, kalian orang baik atau bukan. Puya tidak semudah itu dapat dimiliki. Pada
bab akhir, aku diperintahkan untuk bertanya “kenapa surga itu diciptakan?” pada
teman-temanku sendiri. Terselip juga gambaran sebuah adegan seks yang Allu
lakukan, mungkin bisa dilewati jika kalian merasa risih. Cerita ini dibungkus
dengan berbagai konflik yang sangat menarik. Tidak hanya sekadar menikmati alur
cerita, tetapi juga pemahaman tentang budaya.
Komentar
Posting Komentar