Bertahan


Tidak mudah melepas rindu hanya dari layar kaca. Fiktif jelas berbeda rasa dengan nyata. Kali ini bukan hanya keuangan yang biasanya menjadi kendala. Tapi keadaan yang menjadi sekat dalam jumpa yang harusnya aku dapat. Baru enam hari puasa, pikiranku sudah berada dipenghujung menuju hari raya. Pasti berbeda dan akan terasa berbeda. Aku harus bertahan di ruang petak sendirian. Biasanya akan ada banyak makanan yang Ibu siapkan. Opor ayam, salah satunya. Keadaan ini terlalu kejam, membuat aku tidak bisa merasakan rasa cinta yang Ibu racik dalam setiap masakan di hari spesial.

Lantas parahnya, aku mempertanyakan perihal keadilan Tuhan. Aku sendirian. Terkurung dengan dalih harus menjadi warga Negara yang baik. Mengikuti aturan untuk tidak pulang kampung. Memilih untuk diam. Memilih untuk membatalkan hasrat membeli tiket yang sudah ingin aku pesan. Terpaksa untuk bertahan. Terpaksa untuk merayakan hari raya di kota orang. Lalu saat hari Raya akan tiba, tidak ada lagi tangis menangis yang bisa kuusap. Tak ada lagi peluk hangat yang bisa aku dekap. Tak ada lagi tawa riang berebut ketupat. Tak ada lagi jalan beriringan memohon maaf. Tak ada lagi satu atau dua senyum yang terekam dalam potret. Baru membayangkan saja aku sudah menderita. Tuhan, tidak bisakah ini selesai?

Sungguh egois memang. Marah atas apa sedang yang terjadi. Padahal yang terkena dampak lebih parah karena pandemi ini juga banyak. Aku di sini hanya sedang menyuarakan isi hati “Aku” yang lain.  Sulit bertahan bukan berarti tak bisa bertahan. Mungkin aku dan kalian adalah orang-orang pilihan yang Tuhan siapkan. Sehatlah. Jangan biarkan layar kaca yang menjadi tempat temu tidak mendapati kalian berbahagia, siapkan senyum yang walau menyakitkan. Karena rasanya, kabar sehat seorang anak adalah kabar terbaik untuk orangtuanya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah Aku Seegois Ini?

Perasaan Semu

SayHay