Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2020

Aku yang Akan Pergi

Hari ini, kamu bilang bahwasanya perasaanmu mengatakan akan kehilanganku. Aku sendiri yang akan meninggalkanmu. Itu jelas sekali. Aku tidak perlu menyuruhmu mengulangi perkataan itu.   "Tapi kenapa?" tanyaku. Kamu malah diam tersenyum dan tidak menjawab. Aku kelimpuhan dengan peluang-peluang yang akan terjadi. Sebenarnya peluang besar itu ada pada diriku. Apa benar aku yang akan pergi? Padahal seringkali aku yang ditinggal. Tapi apa ini? Kenapa dia berpikir seperti itu. Anehnya, dia masih saja baik dan mengajakku berpergian. Entah itu jalan kaki bersama, menonton, makan, atau mengobrol apapun yang terlintas dalam pikiran. Bagiku atau baginya, kami sama-sama tau bahwa kami sudah nyaman. Perihal aku yg akan pergi. Entahlah. Aku saja baru ingin menetap, tapi seakan kamu menyuruhku untuk berpikir ulang. Untuk apa aku menetap jika perasaanmu saja mengatakan aku akan pergi. 

Bertahan

Tidak mudah melepas rindu hanya dari layar kaca. Fiktif jelas berbeda rasa dengan nyata. Kali ini bukan hanya keuangan yang biasanya menjadi kendala. Tapi keadaan yang menjadi sekat dalam jumpa yang harusnya aku dapat. Baru enam hari puasa, pikiranku sudah berada dipenghujung menuju hari raya. Pasti berbeda dan akan terasa berbeda. Aku harus bertahan di ruang petak sendirian. Biasanya akan ada banyak makanan yang Ibu siapkan. Opor ayam, salah satunya. Keadaan ini terlalu kejam, membuat aku tidak bisa merasakan rasa cinta yang Ibu racik dalam setiap masakan di hari spesial. Lantas parahnya, aku mempertanyakan perihal keadilan Tuhan. Aku sendirian. Terkurung dengan dalih harus menjadi warga Negara yang baik. Mengikuti aturan untuk tidak pulang kampung. Memilih untuk diam. Memilih untuk membatalkan hasrat membeli tiket yang sudah ingin aku pesan. Terpaksa untuk bertahan. Terpaksa untuk merayakan hari raya di kota orang. Lalu saat hari Raya akan tiba, tidak ada lagi tangis menangis y...

Manusia

Yang dikira bisa menguatkan malah jadi pusat menjatuhkan mental Yang dikira mengerti malah seperti orang yang tak saling kenal Yang dikira paham malah asik saling menghardik Bilangnya bisa mendewasakan, hasilnya hanya menyengsarakan Manis buihan ludah tak jarang hanya sekadar perasa Memegang kendali seperti kuat padahal goyah tak terkira Rangsangan yang menyentuh indra merasa terhina Kandungan dalam hati hanya tinggal rasa kecewa Meraba-raba kemana perginya empati manusia Realitanya kita yang berakal tidak selalu berakhlak Tak pernah ada yang benar perihal kita Tak pernah bisa memprediksi bagaimana kisah hidup akan bercerita seperti apa. Selamat Hari Puisi Nasional.

Lampu Merah

Ada hal yang sangat membosankan tapi dilakukan berulang-ulang. Sejujurnya, semua itu bukan keinginan. Tidak ada hasrat juga untuk terus berdiam dalam satu jangkauan. Tuntutan dan kebutuhan. Kedua itu mungkin berupa alasan. Atas apa yang telah dilakukan. Kebahagiaan akan muncul seiring lampu hijau yang diberikan. Bahkan ketika ada yang ingin berjumpa secara langsung, rasanya siaga 45. Diri ini cepat-cepat bersiap, ingin berangkat. Bukan tergesa-gesa. Bukan juga karena tidak peduli dengan apa yang akan terjadi di jalan. Tapi aku tahu betapa sulitnya meyakinkan. Berusaha tidak mengecewakan.  Kadang, aku menganggap semua bisa dilakukan dengan baik. Hanya dengan tidak keluar dari jalur yang telah dibuat oleh jalan. Aku merasa sedang berjalan di tengah kerumunan orang dengan kesibukannya. Aku seorang diri. Tengah berusaha menyingkir. Berusaha untuk bisa melewati mobil-mobil besar dan tidak mendengarkan kebisingan. Aku hanya ingin sampai pada tujuan. Demi kalian, bukan a...

Teman Diskusi

Banyak banget hal yang ingin dipendam sendiri. Enggak ingin dikit-dikit ngechat atau menelepon seseorang cuma buat ngasih tau apa yang terjadi. Merasa kuat. Merasa yakin bisa terkendali. Tapi nyatanya, emang enggak bisa dipungkiri. Lama-lama sesak juga. Malah seakan mencekik. Menyiksa diri sendiri.  Akhirnya yang dipendam itu satu persatu mulai terbuka, maksudnya mencoba dibuka. Walau awal-awal pasti sulit untuk memulai. Kaya gini, "Aku mau cerita. Boleh?" Mungkin untuk sebagian orang, itu suatu hal biasa. Tapi bagi sebagian orang, mungkin hal itu bisa jadi suatu hal yang tabu, malu, bahkan sangat sulit. Apalagi untuk memastikan bahwa teman diskusi kita adalah orang yang benar, itu enggak gampang. Bisa dibilang seseorang yang ingin bercerita atau berdiskusi harus mencari orang yang tepat. Mencari wadah yang cukup besar untuk menampung keluhan atau masalah yang kita bawa. Entah dilihat dari wataknya, empatinya, rasa nyamannya, pikirannya yang terbuka, ata...

Bermula

Awalnya, aku selalu merasa tidak punya keberanian untuk memberitahu dan menyebarluaskan sebuah kesenanganku dalam menulis. Semakin banyak membaca, semakin aku merasa tidak punya nyali untuk itu. Setiap kali membaca tulisan orang lain, maka semakin merasa tidak akan pernah ada ruang terbuka untuk aku bisa masuk ke dalam dunia meraka. Tapi sebentar, ruang apa yang aku maksud? Jelas-jelas ruang itu adalah ruang yang aku buat untuk menyekat diri sendiri. Mereka tidak pernah membentuk ruang. Bahkan yang ada saling mendukung dalam ruang yang tidak pernah tertutup untuk saling berbagi. Lalu kenapa aku harus takut?  Hanya menyampaikan sebuah perasaan dalam hati yang aku convert menjadi teks. Rasanya itu tidak di luar norma. Ya memang belum mampu sejajar dengan banyaknya kiasan yang meraka gunakan. Kosa kata juga hanya sebatas ingatan. Belum lagi perihal lentikan yang tidak bisa mengimbangi lentikan jari mereka yang tiada henti menekan tombol qwerty pada dini hari. ...

Seperti Orang Asing

Jauh sebelum wabah corona menyebar luas, Aku bahkan sudah mengisolasi diri. Menjaga jarak dengan kehidupanku sebelumnya. Menjadi asing di tengah sosialisasi. Lalu menelan sebuah kerinduan seorang diri. Mungkin bagi kalian, Aku tak layak hanya seorang gadis sombong yang sudah tak ingin lagi bertegur sapa. Memilih hidup dengan dunia barunya. Lantas menewaskan rasa ramah, menguburkan rasa percaya, dan tak lagi saling menerima. Jahatnya, mungkin kalian mencerca dengan amarah kenapa Aku yang kalian kenal jadi berbeda. Sejujurnya, tak ingin rasanya begitu. Seperti sedang menjadi orang lain. Tapi jika dipikir-pikir lagi, Aku memang belum bisa hadir untuk mengungkapkan atau bahkan menjawab pertanyaan kalian. Bahkan jika ditanya apa kabar pun, Aku tidak tau jawaban seperti apa yang harus aku sampaikan. Terlalu banyak hal yang terjadi dan tidak pula kalian harus mengetahui.  Rasanya, menjaga jarak, memberi batasan, sedikit menjauh, itu juga diperlukan untuk kesehata...

Tuhan, Ternyata Bukan Dia

Membuka hati bukan perihal mudah. Memulai untuk berkomunikasi, saling membalas chat secara intens juga bukan perkara mudah. Menyatukan dua hati, sedang satu hati yang masih terluka, belum sembuh total, itu sulit sekali. Bertemu dengan seseorang dengan segala dunia yang dibawanya. Awalnya keraguan merasuki seluruh diri. Tapi anehnya terselip ada harap. Harapan untuk memulai yang baru serta mencoba hal yang telah lama tertutup. Mulai hari itu, aku perlahan mengatakan "Sampai kapanpun kau tidak akan terhenti, jika tidak memulai lagi" Keputusan itu terlihat tepat awalnya, indah bukan main. Hari-hari hanya dipenuhi dengan tawa riang, saling bercerita walau tak berkualitas, tatap muka lewat layar kaca, bergandengan tangan seperti pasangan yang sedang berbahagia, rasanya lucu sekali. Tapi semua itu tak berlangsung lama. Tiga bulan masih manis sekali, kemudian rasa manis itu perlahan berubah menjadi pahit. Sangat pahit.  Aku mengaduh dalam hati, "Tuhan,...

Berjalan Bagai Siput

Hari itu. Aku mendapat secarik kertas darimu. Isinya begini, "Kadang Aku bertanya dengan Tuhan. Kenapa harus dipertemukan denganmu? Bukankah itu takdir yang indah? Bagiku itu layaknya penyiksaan yang kau beri secara perlahan. Ketika kita sudah tak lagi dalam satu naungan payung. Apakah cerita indah ini akan tetap tertulis?"  Aku dan kamu memang sama. Terlalu pecundang untuk saling mengungkapkan. Aku juga takut menghadapi hari dimana mungkin waktu tidak lagi berbaik hati. Kita akan menuju arah yang berbeda. Aku dan kamu tidak lagi dalam satu ruang, tak lagi sejalan, dan tak lagi bersama. Kita akan memiliki pilihan masing-masing yang membuat hubungan kita menjadi renggang, dan Aku merasa kebahagiaanku akan berkurang setelah kamu pergi.  Sejujurnya, Aku tak ingin ini terhenti. Walau Aku tau, bahwa akan ada penutup, jika ada pendahuluan. Tapi Aku masih ingin melanjutkan isi dan tidak ingin penutup yang seperti ini.  "Bisakah kau biarkan kisah ini be...

Hadir Kembali

Bertahun-tahun. Menahan ego dari keinginan menulis pesan untukmu. Mengikat keras hasrat untuk tidak memikirkan kabar tentangmu. Menanggung perasaan yang tak pernah Aku inginkan untuk selalu ada, bahkan sampai detik ini. Aku menyimpannya dengan rapat, tak mau ada yang tau, terkhususnya kamu sendiri. Aku ingin cukupkan semua penyiksaan ini. Aku ingin berhenti dengan rasa menerima, dibanding terus meminta agar ada harapan untuk bisa kembali. Itu sesuatu yang tidak tak terbayangkan olehku, karena Aku tau kamu sudah jalan terus ke depan, meninggalkan Aku sendirian di belakang. Malam itu, ketika Bogor sedang cerah dan berbahagia dengan bintangnya. Aku sedang memainkan handphone di ruang depan. Membuka sosial media yang telah lama Aku tinggalkan, instagram. Tanpa disadari, terdapat direct message yang belum Aku baca. "Sombong banget" katamu. Aku terdiam cukup lama. Bangunan keyakinan untuk melupakan yang sudah aku bangun itu, rasanya akan roboh. Aku m...

Rabu Pagi, Untuk Kamu.

Untuk menengok kabarmu saja tidak segampang dulu.  Seakan semua ruang tidak memberi akses untuk masuk. Seakan semua kesempatan untuk bernostalgia juga sudah tertutup. Padahal sejatinya, aku hanya sedang merindu.  *** Hati ini perlahan aku buka Ada hati lain yang juga perlahan ingin aku terima Waktu mengisyaratkan untuk bertemu Pandang yang tepat membuat kita melirik sama Tidak butuh sekali Pergerakanmu bisa dibilang sangat lamban Bahkan sampai aku memutuskan untuk pergi Kamu menghampiriku dengan sembunyi  Lucunya, pergiku malah menjadi awal untuk bertemu Mungkin kamu harus tau.. Aku tidak ingkar akan diri Percakapan itu, tatapan itu, genggaman itu Berbagai kisah yang juga kamu utarakan Dan aku hanya menjadi pendengar lalu menatapmu lebih dalam untuk berpikir Kamu meyakinkan aku atas apa yang ingin aku pilih Seperti menemukan kunci untuk membuka hati kembali Memberi jalan untuk menjadi penentu Tapi mungkin kamu juga harus tau.. Aku terlalu cepat menemukan kesimpulan B...

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah Aku Seegois Ini?

Perasaan Semu

SayHay