Dua Puluh Lima
Tadinya aku mau bertanya, "kamu kenapa?" tapi aku sadar, setiap orang berhak memutuskan hidupnya, seperti mau tetap tinggal atau pergi. Usiaku yang sudah memasuki seperempat abad ini, masih saja bersikap kekanak-kanakan, masih berharap untuk tidak merasakan rasa sedih karena ditinggal seseorang. Aku sadar betul. Aku tidak punya hak untuk bisa mempertahankan seseorang, yang bahkan dia sendiri secara sadar memutuskan pilihan itu. Satu persatu temanku ditarik oleh kewajiban yang lebih penting dari sekadar bertemu atau berbincang denganku. Sejak saat itu, aku hanya bertemu dengan sedih di dalam kamar. Lantas setelah ini, siapa lagi? Itu selalu menjadi pertanyaanku. Aku bukan termasuk orang yang terburu-buru, tapi aku hanya sedang memahami situasi, di mana aku harus lebih banyak mengerti. Entah siapapun yang akan pergi. Tepat di saat bulan lahirku di tahun ini akan habis, dan akan berganti bulan baru. Dua puluh lima tahun adalah usia yang masih muda, ini pandanganku, bukan panda...