Tenang dalam Damai

Sungguh ironis. Aku mati-matian ingin berdamai dengan diri sendiri karena terus terikat dengan perasaan yang mengikat kebebasan. Ternyata ada seseorang yang juga demikian terhadapku. Terus terang, rasanya aku, bahkan kita, terlalu fokus dengan apa yang kita rasakan, ya memang karena itu hal yang paling mudah untuk dijabarkan. Kadang kita selalu memikirkan bagaimana cara move on, padahal memikirkannya saja sudah jalan yang salah, karena kita akan terus mengingatnya.

***

Di pinggir tangga depan lobby kampus, aku duduk di sebelah laki-laki berkulit putih yang sangat komunikatif. Kami memandang satu arah yang sama, yaitu sahabatnya. Laki-laki yang mendekatiku belakangan ini. 

"Jadi dia sudah ada pergerakan apa?" tanyanya sembari mengarahkan bola matanya ke tempat sabahatnya berada.

"Entahlah, rasanya ada, tapi enggak nyata." 

"Sebenarnya, aku juga bingung sama Denis. Semua orang ingin memperbaiki diri agar terlihat menarik perhatian. Tapi dia selalu mau menampilkan apa adanya. Bagus sih, tapi kadang jadi enggak keliatan effortnya. Hmmm.. terus, dia sempat bilang mau serius Ra sama kamu, tapi dia enggak bisa untuk saat ini."

Aku tertawa kecil. "Masih jauh ah untuk bahas itu. Toh aku enggak menuntut apapun, dan dia juga enggak perlu memberikan pernyataan yang aku yakin dia sendiri pasti belum yakin. Intinya, bagaimana dia ke Rara, ya hak dia. Bagaimana Rara ke dia, itu pun haknya Rara."

Mata kamu bertemu dan mengangguk sepakat.

***

Percakapan tiga tahun lalu yang masih tersimpan dalam memoriku. Semua mungkin terjadi begitu saja. Aku kira hanya ada masalahku dengan perasaanku yang tidak pernah berubah. Bukan terhadap laki-laki yang sahabatnya sendiri ikut serta ingin kami bersama, bukan dia. Tapi ada orang lain yang selalu aku jadikan tokoh utama. Dulu sebelum Ibu Susi memviralkan kata "tenggelam", di lingkungan permainan kami, kata itu sudah viral. Di mana chat yang tak terbalas selalu dibalas dengan alasan, "maaf chatnya tenggelam". Kira-kira begitulah salah satu perlakuanku kepada Denis, yang sebenarnya aku hanya ingin menghindar.

Mungkin Denis mengetahui hal ini. Aku terang-terangan tanpa malu dan mendeklarasi bahwa aku galau karena orang lain. Aku menunjukan sisi lemah dalam diri, yang bahkan orang lain jadi tahu kenyataan itu. Sekarang, memikirkannya saja membuat aku menyesal. Bodoh sekali memang. Aku terus peduli dan mencoba mencari celah, dan ketika celah itu muncul, aku malah mengabaikannya karena tidak mau dibilang perusak hubungan orang lain. Sungguh sulit menerima keadaan selagi perasaan sedang ambyar.

Nyatanya, permasalahan bukan hanya milik diriku sendiri. Ada Denis, yang tidak pernah aku perhatikan. Seseorang yang memang pernah menjadi tokoh dalam ceritaku. Namanya tidak begitu lama berperan. Aku malah beranggapan, kita memang sudah selesai tanpa permulaan. Cerita kita sudah ending. Surat terakhir yang kamu kirim, aku hanya mengganggap itu adalah pesan dari seorang laki-laki yang belum matang dalam pemikiran di masa depan. Aku menjaga hatiku untuk tidak berharap. Maka, berakhirlah. Tidak ada kelanjutan dari janji di atas selembar kertas yang ditulis oleh seorang mahasiswa kala itu. Tapi siapa sangka, Denis berkutat dengan perasaan yang tidak pernah dia inginkan untuk ada. Mencoba tidak menyalahkan diri sendiri atas apa yang sudah terjadi, berharap bisa melepaskan masa lalu, dan semua bisa diselesaikan dengan tenang.

Aku menyadari, bahwa aku dan Denis memiliki problematika yang sama. Kami menyerah terhadap doa yang kami panjatkan. Kami sama-sama bersikeras untuk menerima penolakan. Keyakinan bahwa perasaan ini adalah murni yang sulit sekali untuk dibelokkan, membuat aku paham bagaimana perasaan Denis terhadapku. Aku tidak bisa bantu banyak. Menerima kenyataan bahwa bertahun-tahun dia dengan sengaja mengunfollow sosial mediaku, aku mengikhlaskan dan itu sangat wajar. Karena aku pun begitu. Berdamai dengan diri sendiri terhadap perasaan adalah sebuah tujuan bagi aku dan juga Denis, bertahun-tahun berteman dengan rasa menyakitkan dan selalu ada perasaan ingin menghindar. Lelah sekali.

Sampai pada waktu di mana Denis kembali utuh, dapat melepaskan rasa sakit dan sudah menerima perdamaian dalam dirinya, aku ingin sampaikan, selamat datang kembali kepada permulaan dalam kehidupan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah Aku Seegois Ini?

Perasaan Semu

SayHay