Senyap
Bersamamu, aku belum bisa menemukan aku yang utuh tanpa banyak ragu. Seperti ada pembatas pekat yang tidak bisa aku lihat. Mulai dari ketakutan diri sendiri yang menjeratku untuk tetap senyap. Ada kala hari di mana aku mulai berani, aku ingin jujur. Bisa mengatakan apa yang aku rasakan, tidak menggunakan kata "tapi" dan tidak juga bertepi. Anehnya, aku mencoba memahami dan mendapati banyak alasan yang tidak pasti dan tidak aku mengerti.
Aku tidak bisa bohong bahwa menghabiskan waktu denganmu, memang hal yang menyenangkan. Mengenal banyak hal dalam perbincangan. Tapi dalam kesenangan itu, ada pikiran lain yang menggangguku, kapan ini akan usai? Atau boleh jadi, haruskah aku yang menyudahi sesuatu yang belum pernah kita mulai? Dan aku takut sekali dilempar balik pertanyaan yang aku sendiri tidak tau jawabannya. Maka aku memilih diam, walau sebenarnya enggan.
Jika bisa dianalogikan, aku adalah senyap yang tidak seharusnya kamu ramaikan. Aku terlalu takut membawamu jauh. Aku terlalu takut mengembalikanmu seperti keadaanmu pertama kali mengenalku. Aku takut hanya luka yang bisa aku titipkan.
Egoisnya, bukan keharusanku untuk mengurusnya. Mengandaikan hal yang belum terjadi hanya akan menambah tekanan, apalagi banyaknya pertimbangan yang sudah dilakukan.
Jujur saja aku sudah mulai lelah. Cerita seperti ini sudah berulangkali terjadi. Aku sangat bosan karena selalu melihat akhir yang sama. Kemungkinan besar, akan ada lagi aku yang duduk termenung dengan perasaan berat tapi harus melepaskan orang baik yang aku kenal. Akan ada tangis terisak tengah malam tanpa henti. Lalu akan ada hari-hari di mana aku mencoba membiasakan diri menjadi aku yang belum mengenalmu.
Seharusnya dari awal, kamu tidak perlu berusaha meyakinkan bahwa jarak antara kita bukanlah penghalang.
Komentar
Posting Komentar