Dua Puluh Lima

Tadinya aku mau bertanya, "kamu kenapa?" tapi aku sadar, setiap orang berhak memutuskan hidupnya, seperti mau tetap tinggal atau pergi. Usiaku yang sudah memasuki seperempat abad ini, masih saja bersikap kekanak-kanakan, masih berharap untuk tidak merasakan rasa sedih karena ditinggal seseorang.
 
Aku sadar betul. Aku tidak punya hak untuk bisa mempertahankan seseorang, yang bahkan dia sendiri secara sadar memutuskan pilihan itu. Satu persatu temanku ditarik oleh kewajiban yang lebih penting dari sekadar bertemu atau berbincang denganku. Sejak saat itu, aku hanya bertemu dengan sedih di dalam kamar. Lantas setelah ini, siapa lagi? Itu selalu menjadi pertanyaanku. Aku bukan termasuk orang yang terburu-buru, tapi aku hanya sedang memahami situasi, di mana aku harus lebih banyak mengerti. Entah siapapun yang akan pergi.

Tepat di saat bulan lahirku di tahun ini akan habis, dan akan berganti bulan baru. Dua puluh lima tahun adalah usia yang masih muda, ini pandanganku, bukan pandangan masyarakat pada umumnya. Tapi cukup berumur untuk sekadar memahami sebuah pilihan dalam hidup, yang pasti punya risiko dan juga alasan. Bersikap selalu peduli dan overthinking masih menjadi tugasku untuk terus bisa menguranginya.

Di usiaku yang harusnya semakin dewasa ini, kadang aku marah ketika diriku belum bisa menjadi orang baik seutuhnya. Aku juga kecewa, untuk kesekian kalinya aku harus merelakan orang baik untuk pergi, karena dari beberapa kepergian, penyebabnya adalah aku sendiri. Aku yang masih belajar memahami isi hati, yang belum teguh untuk memutuskan enigma soal cinta. Tapi di saat seperti ini, aku selalu teringat apa pesan mama, "Orang yang benar-benar sayang sama kamu, dia tidak akan meninggalkanmu, bahkan dia akan terus memperjuangkanmu."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah Aku Seegois Ini?

Perasaan Semu

SayHay