[Resensi Buku] Tan Malaka : Bapak Republik yang Dilupakan


Judul Buku Tan MalakaPenulis TempoPenerbit Gramedia Pustaka UtamaTahun Terbit 2018Jumlah Halaman 184 hlmISBN 9786024241148.

Buku yang sebenernya aku mulai baca dari Bulan Desember 2020 tapi baru aku tuntaskan tahun 2021 ini. Bagi aku penikmat novel fiksi, buku sejarah seperti ini menjadi makanan baru yang perlu perlahan aku kunyah, tidak bisa aku telan dengan mudah. Butuh waktu yang baik untuk mencerna cerita satu yang berlanjut ke cerita lainnya. Majalah Tempo menelusuri jalan hidup salah satu tokoh Bapak Republik Indonesia. Mayoritas dibantu dengan data dari Harry A. Poeza, peneliti asal Belanda yang tertarik dengan tokoh komunis di Indonesia, yaitu Tan Malaka.

Ada tiga bab utama, yang di dalamnya terdiri dari 7-8 sub bab yang ceritanya masih dalam satu tema. Serta ada kolom-kolom, yang merupakan tulisan dari penulis lain di luar Tim Tempo, ada tujuh penulis di sana. Entah kenapa tulisan di kolom-kolom sangatlah mudah untuk dicerna, mungkin karena disimpan di akhir cerita dan tidak banyak menunjukan data, lebih pure cerita part terpenting dalam Tan Malaka dengan bahasa yang mudah diterima. 

Buku ini tidak melulu soal kata, terdapat komik, dan banyak dokumentasi yang membantu kita memahami siapa tokoh yang sedang dibicarakan, seperti apa tempat yang sedang dipertunjukan, atau bagaimana keadaan Indonesia atau wilayah lain pada zamannya. Walau kadang, mudah bosan itu datang, karena kita tidak terbiasa menerima cerita dengan banyak nama tokoh dan tempat yang diceritakan. 

Tan Malaka, menjadi objek dalam cerita. Ia seorang Marxis tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan "Di depan Tuhan, saya seorang muslim". Siapa sangka, laki-laki asal Minang ini rajin mengaji, sering sembahyang, dan hafal Al-Quran sewaktu mudanya. Kepintaran otaknya tak perlu diragukan lagi, dia menjadi orang pertama Indonesia yang diterima di sekolah Haarlem Belanda. Mulai dari sana, pemikiran Tan sangatlah terbuka, Tan pulang hanya dengan satu cita-cita yaitu mengubah nasib Bangsa Indonesia.

Enam tahun Tan belajar di Negeri Belanda, dan 20 tahun mengembara dalam pelarian politik mengelilingi hampir separuh dunia. Menguasai delapan bahasa. Satu wajah dengan berbagai nama samaran serta alamat rahasia. Keluar masuk penjara juga menjadi hal biasa. Luar biasanya, dari perjalanan dan waktu yang dia habiskan di dalam penjara selalu menghasilkan sebuah tulisan yang berpengaruh dan menunjukkan keberadaannya untuk mendukung Indonesia terlepas dari jajahan dan bisa merdeka. Kehidupan Tan Malaka sepenuhnya Ia dedikasikan untuk tanah air, dan terus memperjuangkan kemerdekaan, walau rasanya Tan Malaka lebih sering berada di belakang layar saja. Tidak seperti Soekarno dan juga Hatta. 

Pemikiran yang berilian, sebuah kekonsistenan dalam berpolitik, orisinalitas pemikiran yang hanya memikirkan rakyat, teguhnya berprinsip dalam hidup, tidak mudahnya digoyahkan oleh orang lain, mungkin menjadi kesuksesan Tan Malaka dalam berpolitik dan menjadikan Ia pahlawan Nasional pada 28 Maret 1963. Pahlawan yang gelarnya masih ada, tapi namanya sudah hilang dan tidak pernah muncul pada pelajaran sejarah di sekolah.


Ada beberapa kalimat yang aku tandai dari Bapak Tan Malaka :

Ingatlah bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi. 

Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. 

Merdeka itu dua arah : bebas dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain. 

Strom ahead. Don't lose your head!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah Aku Seegois Ini?

Perasaan Semu

SayHay