Sampai Garis Finish
Pesanku tak kunjung ceklis dua pertanda terkirim. Sejenak aku berpikir, apakah hal ini sudah kamu pikirkan jauh-jauh hari? apakah kamu terlalu lelah untuk terus merasa terabaikan? Sampai-sampai kamu membuat perbatasan menjadi jawaban.
Sosial mediamu juga menghilang. Kamu berhasil pergi tanpa jejak yang bisa aku ikuti. Aku tak menemukan jawaban selain kepergianmu adalah hal yang pasti. Hal yang sempat aku minta kepadamu, kamu turuti. Harusnya aku bersyukur karena ini terjadi, tapi ada perasaan aneh yang kerap menghantui. Untuk sekian kalinya, Aku harus beradaptasi lagi. Kemarin, bibirku lebih sering mengucapkan kata-kata yang tak ingin kamu dengar, sekarang hanya ingin menyampaikan maaf yang beriringan isak tangis.
Dari sudut pandangku, pergi adalah satu-satunya cara terbaikmu untuk berpisah dan belajar melupakanku. Tanpa berbicara, tanpa pamit, tanpa apapun yang membuatmu berat untuk menaruh kembali keputusan ini. Pasti kalau kamu ada, kamu akan bilang begini, "Aku kan belajar dari kamu yang suka pergi tanpa aba-aba" sekarang aku tersenyum getir mengingatnya.
Kepergianmu ini jelas saja merubah keadaan. Aku merasakan kehilangan yang sempat kamu rasakan. Ada kesedihan di hati yang tak bisa aku bohongi. Tapi pergi bukanlah hal menyakitkan yang bisa aku lawan. Aku memilih menikmatinya. Aku tau, pergimu berarti untuk tidak saling menyakiti. Maka aku mencoba untuk terus menjalani hari-hariku. Aku harap begitu juga dengan kamu.
Bukan lagi waktunya berpikir, apakah kamu atau aku akan baik-baik saja dengan ini? tapi ini perihal siapa yang mampu untuk menahan beratnya melewati batas yang kita sama-sama tau, ada jarak yang selalu perlu kita ikuti dalam tiap percakapan atau pertemuan. Dan pergimu memberi batas yang jelas kepada jarak yang sudah seharusnya memang ada dari awal.
Nyatanya, Aku benci untuk terus membesarkan anganku terhadapmu. Aku benci berada pada keadaan yang dengan mudahnya bisa menghilangkan jarak, yang harus tetap kita jaga. Aku benci melihat kamu yang terseret dengan keadaan yang belum juga kamu yakini. Aku benci karena sorotanmu selalu membuat aku menjadi sosok jahat, padahal aku hanya ingin melindungi kita untuk tidak mengambil jalan yang salah dan tidak saling terluka.
Jika terus dipikirkan, bukannya sangat terasa jelas bahwa ada beberapa hal yang masih jauh dari kata siap. Aku hanya takut kita memberikan peluang yang besar untuk terus berada di dalam keadaan yang tidak tepat. Aku juga takut bahwa faktanya, apa yang kita jalani ini hanya untuk kesenangan yang tidak seharusnya terjadi. Ada debaran yang selalu aku rasakan di setiap perlakuanmu. Dan karena itu, karena ketidaksanggupanku untuk terus bisa berada di dekatmu selama ini
....adalah ketakutanku menuntut kamu untuk terus cepat berlari.
Aku masih berharap dengan kepergianmu saat ini, kamu akan datang kembali. Merubah ragu menjadi yakin. Agar tidak ada lagi yang bisa menyalipmu, sampai garis finish nanti.
Sampai tiba di saat itu, semoga yang aku lihat adalah kamu.
***
Komentar
Posting Komentar