Hadiah Terbesar di Perantauan
Halo penduduk bumi yang sedang tentram
di sana!
Aku tak bosan-bosan memanggilmu,
menyapamu, dan bertanding kata denganmu. Tapi itu dulu, sebelum dunia lain yang
kau pilih telah membawamu pergi dariku. Pada awalnya, kita sama-sama menyadari
bahwa hubungan ini akan berbeda dari biasanya setelah kita sudah menemukan dan
memilih pilihan yang tepat. Kini, aku hanya sedang bernostalgia.
Peristiwa-peristiwa lampau yang kita miliki telah menarikku memasukinya untuk
kesekian kalinya.
***
Kulitnya hitam, kurus, jorok, dekil,
tidak terurus, semua itu ada pada dirinya. Aku bertemu dan diharuskan bekerjasama
dengannya kurang lebih selama 1 tahun kepengurusan di salah satu lembaga di
kampus. Aku selalu bertingkah ceria kepada siapapun, termasuk dirinya. Menjauh
tak mau mendekat awalnya, tapi lama-kelamaan dia luluh. Bukan luluh dalam arti
lain. Ini masih dalam konteks perkenalan. Aku dan dirinya sama-sama senang
bercanda. Sekedar bertegur sapa, berbalas chat
jika membahas kegiatan, hanya itu. Tidak lebih. Saat itu, kami hanya sedang
membangun pendahuluan. Dan akhirnya, masa kepengurusan itu telah usai sebelum
pendahuluan kami selesai.
Waktu tidak jahat. Waktu selalu
memilliki tempat untuk semua hal. Tergantung juga dengan siapa waktu berteman,
jika aku sombong mungkin waktu tak akan sebaik ini padaku. Aku dipertemukan
kembali dalam waktu yang berbeda dan pada lembaga yang juga berbeda. Pastinya
dengan orang yang sama. Aku kira, kami akan acuh saja. Tapi ketika itu, entah kapan,
waktu sangat baik, Kami diberi waktu untuk duduk berdua. Beralas rumput hijau,
di bawah pohon rindang tak berbuah, dan dikibas-kibas oleh angin sore langsung dari
alam.
“Kayanya, kalo kamu ngga masuk lembaga
ini. Kita ngga bakal bisa ngobrol lagi deh ya.” ujarnya membuka obrolan.
Aku menatapnya, lantas tertawa. “Kenapa
gitu? Kita kan satu kampus, satu fakultas, pasti bisalah.”
“Eh, kesibukkan kamu ini yang bakal jadi
penghalang kita ketemu tau.” katanya sambil menyenggolku dengan lengan kirinya.
Aku mempertahankan diri sambil mengaduh
padanya. “Uuhhh. Bisa aja ko kalo aku menyempatkan. Hehe”
Dia terdiam.
Aku melanjutkan, “Tapi yaudah lah ya,
toh kita dipertemukan di sini.”
“Iya benar.” Jawabnya singkat
mengangguk.
“Eh kamu tuh orang mana sih? Udah lama
kenal Aku masih ngga tau aja tempat tinggal kamu.”
“Aku di Bandung, di Buah Batu. Kamu tuh
di Bogor kan ya Li?”
“Iya Aku anak Bogor.”
“Kamu tuh harusnya bisa bahasa sunda
lho. Tapi naha kamu teu tiasa nyarios
sunda? Sok aneh jalma teh –kenapa
kamu ngga bisa bahsa sunda? Orang aneh-.”
“Ngga tau atuh, lagian kalo di rumah,
bahasa sehari-hari aku itu bahasa Indonesia. Tidak masalah kan? yang terpenting
aku bahagia.” Mataku menatapnya minta persetujuan.
Dia tak berkata, hanya membalas dengan
raut wajah yang benar-benar mengganggapku aneh, lantas dia pergi. Aku yang
ditinggal hanya diam. Itu bukan masalah, aku sudah terbiasa.
Perbincangan tak berkualitas seperti itu
adalah hal yang paling aku rindukan. Dulu hal apapun menjadi bahan mengaduku
pada dirinya. Awalnya aku berpikir, ini aneh dan terlalu berlebihan. Tapi aku
pun tak bisa menggelak, ini berjalan tanpa disadari. Hasratku ingin bercerita
tak bisa dibendung setelah mengenalnya. Kadang respon dia selalu saja membuat
Aku kecewa. Aku adalah orang yang berantusias tinggi, tapi tidak dengan dia.
Dia selalu saja beranggapan, ceritaku tak terlalu penting untuk direspon. Walau
tau begitu, Aku masih saja senang bercerita dengannya. Dia memang aneh. Kadang
dapat merespon dengan baik, kadang juga tidak. Tapi satu hal yang membuat aku
kagum padanya, ketika dia sudah mulai berpetuah padaku, ketika itu dia mampu merangkai
sedemikian kata menjadi indah dan mampu menyejukkan hati serta pikiranku. Itu
adalah bagian yang paling aku sukai.
Jika diingat, pada suatu hari yang lalu,
kami layaknya orang famous yang
diperbincangkan. Semua orang mungkin hampir tahu, bahwa kami sering bersama.
Mulai dari cerita, membuat kami beberapa kali memilih piknik berdua. Tetap di
lain tempatpun, kamu masih bertukar cerita. Itu juga sangat aku rindukan. Aku
seakan memasuki kehidupannya dengan sengaja. Menjamah kehidupanya dengan
hati-hati. Kau tahu? Kemarin kami baru sampai pada pendahuluan, mungkin saat
ini kami sedang menyusun isinya.
Semua orang di kampus, beranggapan bahwa
kami menjalin kasih, sekedar dengan teman. Dia pernah bilang, “Terserah orang mau bilang apa, yang penting
kita tidak merugikan orang lain.” Aku selalu setuju dengan kata bijaknya. Perasaanku
padanya, bukan perasaan wanita yang sedang jatuh hati pada pria. Kami nyaman
bersama di atas kenyamanan yang kami beri nama, mungkin hanya teman, hanya
tempat bertukar cerita, atau aku rasa dia adalah kaka dan keluargaku di
perantauan.
Kebahagian ini memang lebih sering
muncul jika aku berada di dekatnya. Pada suatu hari pula, aku bertanya padanya,
bagaimana perasaannya saat piknik bersama?
dan dia hanya menjawab, biasa saja. Aku sungguh kecewa. Saat aku
diajaknya keluar, itu saja membuat aku bahagia. Aku tak bohong. Aku sungguh
bahagia. Tapi biarlah, aku saja tak akan mampu marah padanya.
***
Aku lupa kapan tepatnya, dia
menyampaikan rayuan yang sangat tidak diragukan lagi, bahwa Aku melting saat membaca. Begini katanya.
Kadang
aku ingin bertanya pada Tuhan
Kenapa
harus dipertemukan dengan makhluk mungil sepertimu?
Bukankah
itu takdir yang indah?
Bagiku
itu layaknya penyiksaan yang kau beri secara perlahan
Ketika
kita sudah tak lagi dalam satu naungan payung
Apakah
cerita indah ini akan tetap tertulis?
Terimakasih
banyak, untuk waktu yang singkat, tawa yang ikhlas,
dan
saling berbagi cerita yang tak berkualitas ini.
Dek,
jika kelak kamu pulang, ceritakanlah pada Ibu, Bapak, dan segenap keluargamu,
bahwa
diperantauan kamu mempunyai sosok teman yang luar biasa.
Saat kau beri aku kata-kata manismu itu,
Aku tertawa bahagia. Tapi, saat ini aku tak bisa bilang tidak ketika kamu bilang,
jangan menangis. Setumpuk rindu ini jujur adanya. Aku tidak berdusta. Hidupku
memang penuh drama, katamu. Tapi jangan sekali-kali kau pikir cerita ini adalah
salah satu skenario hidupku yang palsu.
Aku ikuti apa pintamu. Sore ini, hujan
mengguyur kota Bogor. Aku sedang duduk dengan segelas teh manis yang hangat. Di
ujung kiri terlihat mamahku yang sedang khusyuk menjahit. Kami hanya berdua.
Hanya terdengar suara air jatuh dan suara tangan mamah yang tiap kali harus
bergesekan dengan kain ketika ingin memasukkan jarum.
“Mah, aku mau cerita.” suaraku
memecahkan kedinginan.
Mamahku selalu saja mengerti. Dia
menoleh padaku, lantas menaruh jahitannya, dan menghampiri kursi yang berada di
sebelahku. “Silahkan, kamu mau cerita apa nak.”
Aku tersenyum lepas. Meminum seteguk teh
yang kemudian aku simpan lagi di atas meja. Aku mulai bercerita.
“Mah, ada sosok laki-laki yang amat aku
sayangi. Dia selalu menjadi tempat penumpah lara dan pintu yang mendatangkan
rasa bahagia. Mamah tau kan, Aku ini tidak bisa diam, selalu mengoceh berisik,
aku juga kadang aneh, tapi dia memakluminya mah. Dia mengenal baik anakmu ini.
Dia satu-satunya laki-laki yang melihatku menangis terisak-isak dan
mengusapnya. Semua petuahnya membawa aku dalam kesejukkan dunia. Bagaikan
pelangi yang muncul setelah hujan. Dia mewarnai hidupku dalam kelamnya
perantauan. Dia tak pernah bilang, bahwa dia sayang padaku. Tapi dia selalu
mendukung apapun yang aku pilih dan dia selalu ingin aku mendapatkan yang
terbaik. Aku takut menghadapi hari, dimana mungkin waktu tak lagi berbaik hati.
Kami akan menuju arah yang berbeda. Aku dan dia tak lagi dalam satu ruang, tak
lagi sejalan, dan tak lagi bersama. Kami akan memiliki pilihan masing-masing
yang membuat hubungan kami akan menjadi renggang. Jangan salah sangka Mah. Dia
layaknya kakak bagiku. Sedikitpun aku tak berani melangkah lebih jauh dari zona
itu. Sejujurnya, aku tak ingin ini terhenti. Walau aku tau, bahwa akan ada penutup
jika ada pendahuluan. Tapi aku masih ingin melanjutkan isi dan tak ingin
penutup yang seperti ini. Entah kenapa, aku merasa kebahagiaanku akan berkurang
setelah dia pergi.”
Tanpa disadari aku meneteskan air mata.
Mamahku mengusap halus pahaku dengan lengan kanannya. Tak berbicara. Hanya
menatapku, seakan tau ceritaku belum usai.
“Tak semudah itu aku bisa melupakkannya.
Ya.. walau aku tau, pelangi memang selalu pergi dengan cepat. Tapi sungguh aku
tak ingin. Biarkan ini berjalan bagai siput yang menikmati waktunya secara
perlahan. Dia telah menatahku ke dalam kehidupannya, menemaniku menjelajah
hiburan, mengunyah ringan pertemanan, serta mengukir hidupku dengan prosanya.
Mah, andai Engkau tau. Dia adalah hadiah terbesarku di perantauan.”
Air mataku tak bisa terbendung. Terisak
mengadu. Mamah memelukku. Lagi-lagi tanpa sempat berkomentar. Saat ini, suara
detakkan jarum jam terdengar keras. Hujan masih terlihat lebat dari jendela.
Tehku mungkin sudah dingin. Biarkanlah. Aku lupakan sejenak dengan menikmati pelukkan
terhangat.
Komentar
Posting Komentar