Pertemuan Rasa
Matahari tepat berada di atas kepala. Kendaraan memadati
jalanan. Lampu merah sedang mendapat giliran. Massa lainnya berhamburan mencari
kesibukan. Aku masih sibuk berada di antrian fotokopi untuk menduplikat
beberapa dokumen yang harus Aku bawa meeting
sore ini. Dokumenku sudah siap. Belum lama Aku berjalan, matahari mulai tidak
bersahabat. Awan hitam iri pada awan biru yang sejak tadi muncul di permukaan.
Ia mengambil alih saat ini. Rintik hujan mulai turun menerpa bumi. Lagi-lagi
selalu hujan yang mengacaukan urusanku. Massa mulai panik mencari tempat
pelindung. Halte adalah tempat tujuanku. Telat. Sudah banyak massa yang
berdesakkan menghindar dari air. Aku mulai melangkah dengan kecepatan tinggi.
Langkah kaki membawa air yang sudah menggenang. Pandanganku tertempel pada
suatu kedai kopi. Tanpa berpikir panjang. Tempat yang tidak terlalu besar itu
cukup pas dijadikan tempat meneduh. Aku langsung kearah meja panjang yang sudah
terpasang menu. Kursi panjang di depannya sudah terisi oleh beberapa orang yang
juga memilih kedai sebagai tempat menjauh dari air.
“Mas kopinya satu ya.”
“Oke Mba.” pelayan muda tersebut membalas dengan senyuman
yang manis sekali.
Aku balikan badan. Mataku menjelajah seisi ruangan. Hanya
ada 10 meja di sini. Masing-masing meja terdapat dua hingga empat kursi. Aksen
kedai ini begitu klasik dengan meja bulat dan kursi yang terbuat dari kayu tua,
tapi begitu kokoh. Setangkai bunga mawar dan lilin serta dan kotak tisu dari
kayu mewarnai setiap meja. Terdapat lukisan-lukisan abstrak yang menempel pada
dinding di bagian kanan. Rak buku yang terbuat dari kayu bercat coklat pekat
yang menutupi dinding sisi kiri kedai dengan memuat barisan buku yang terbilang
kuno dengan beritme romantic. Terdapat
pula kursi panjang dengan bantalan empuk di atasnya, tepat berada di depan
jajaran buku. Bagian depan hanya diisi oleh beberapa pasang jendela berbentuk
bulat dari kayu yang mampu menerobos jalanan. Semua bersatu dan memberi aksen
yang sama. Aku perhatikan sekali lagi. Meja pertama berada di sisi kanan, sudah
terisi oleh empat orang wanita yang sejak tadi menghebohkan kedai ini. Di
belakangnya terdapat sepasang kekasih, begitu pula dengan ke empat meja
lainnya. Pada sisi kiri terlihat meja bernomor tujuh yang terisi oleh tiga
orang yang sedang asik bercerita. Di sampingnya sudah terisi oleh dua orang
perempuan. Selanjutnya meja terisi oleh dua orang laki-laki yang sibuk
mengutak-atik gadgetnya.
“Mba, ini kopinya.”
Pelayan pemiliki senyum manis itu menyadarkanku. “Iya Mas,
tapi masalahnya semua meja di sini sudah terisi penuh.”
“Wah begitu ya.” mata pelayan tersebut berputar seisi
ruangan.
Untuk kedua kalinya, dia memberikan senyum manisnya. Mata
bulatnya bercahaya. “Itu Mba di sana masih ada satu kursi yang kosong.” Tangan
kanannya mengarah pada seorang laki-laki yang tepat berada di samping jendela.
Sendirian.
Dengan berat hati, Aku menuruti saja kata pelayan itu. Ya…
dari pada harus bersentuh dengan hujan. Aku tepat mengikuti di belakangnya.
“Maaf Mas, karena kedai kamu sedang penuh dan terdapat satu
bangku kosong di meja ini. Bolehkan Mba cantik ini duduk di sini?” pelayan itu
menoleh dan memberi senyumnya lagi.
Laki-laki berparas sebaya denganku lekas memperbaiki
kacamata yang sedikit terdapat uap di dalamnya. Menatapku tajam. Tak paham apa
yang dia pikirkan.
“Silahkan.” dengan nada yang sangat flat laki-laki berbadan kurus tinggi itu menjawab lalu segera
membuang wajahnya kearah jendela tanpa sempat melihat senyuman yang sudah ku
buatkan untuknya.
Sekarang lirikan mataku lebih tajam dibanding lirikannya
barusan. Aku rasa orang ini tak menyukai Aku karena menganggapku telah
mengusiknya. “Terimaksih ya. Maaf kalau saya menganggu Anda. Jika di luar tidak
ada pengganggu mungkin saya tidak akan mau duduk berdua dengan Anda.” Aku
mengoceh sopan saja sebelum dia mengocehkan rasa kesalnya padaku. Itu pasti.
Bagaimana tidak? Kuperhatikan sedari tadi wajahnya tidak kunjung menoleh
sedikitpun kepadaku.
Aku mencoba menenangkan diri. Seperti biasa, Aku selalu menghirupnya
lalu meneguknya pelan-pelan. “Kopi di kedai ini lumayan juga rasanya.”
“Kau wanita aneh yang suka kopi.” suara itu memang kecil
tapi Aku jelas mendengarnya. Sumber suaranya jelas-jelas dari depan wajahku.
Ya, laki-laki itu.
Wajahku mulai memerah. Bukan malu. Aku kesal. Sungguh sangat
kesal. “Kau ini, dari tadi Aku ajak bicara diam saja. Tapi, sekalinya bicara
malah mengolok orang.”
Laki-laki itu akhirnya menengok. Dihiasi dengan senyuman
kecutnya. Kacamatanya tak lagi basah. Tak juga merosot karena sudah tertahan
hidung mancungnya. “Kau yang membuat Aku lebih dulu kesal.”
“Oh pasti karena tempat duduk ini kan? Kau ini benar-benar
ingin Aku pergi dari sini ya? Ayolah di luar sana sedang ada pengganggu hidupku.
Tidak mungkin Aku mau menemaninya.”
“Bukan itu. Jika Aku tak suka kamu di sini. Bagaimana
mungkin Aku menerimamu barusan.”
“Lalu apa?”
Laki-laki itu tertawa kecil. “Aku tidak suka bau kopi. Dan
Aku pikir kau hadir dengan segelas susu tapi… kau malah hadir dengan minuman
hitam tak bermoral. Kau benar-benar merusak hariku yang sudah begitu indah.”
Aku tercengang. Mungkin saat ini mulutku sedang membentuk
sebuah lubang yang berpeluang lalat untuk hinggap. Segera Aku tutup dengan
cepat. Aku menelan ludah sedalam-dalamnya. “Kau benar-benar tidak sopan ya.
Bagaimana bisa kau bilang kopi adalah minuman yang tak bermoral? Hah! Hal yang
paling tidak bermoral adalah hujan. Lihatlah! (mataku mengarah ke luar jendela) dia datang tanpa rasa bersalahnya
disaat Aku tak bisa menunggu. Dia selalu menghancurkan apa yang sedang Aku
lakukan. Tak sadarkah kau? Semua orang terpontang-panting mencari tempat
berteduh. Berlarian kesana kemari demi menghindarinya.”
Aku terdiam sebentar. Menarik napas. “Lalu karena
kehadirannya pula, beratusan hari Aku harus berusaha mengubur sebuah kenangan
yang Aku anggap tidak akan pernah terjadi. Tapi dengan mudahnya, hanya butuh
waktu beberapa menit saja. Basuhan dinginnya, aliran airnya, bau percikan air
yang bersentuhan dengan tanah kering, lagu yang berputar dari rintikannya.
Semua itu berhasil. Hujan menerbitkannya kembali. Memutar sebuah film yang
jelas-jelas sudah Aku remove dalam
diri. Apa kau pikir hujan tidak kejam? ”
Mataku penuh percaya diri. Menatapnya lekat-lekat. Walau Aku
tak mengerti, kenapa Aku dapat mengungkapkan semua emosionalku terhadap hujan,
sang penganggu dan pembawa kehancuran kepada dirinya. Seseorang yang baru lima
menit Aku kenal. Malah belum sempat berkenalan.
Ia menghirup minuman coklatnya. Lalu menatapku dan memulai
membuka mulutnya perlahan. “Kau tahu kopi itu sangat berbahaya. Lebih berbahaya
daripada hujan yang kau anggap sebagai penghalang. Justru minuman hitam itulah
yang jelas-jelas sebagai penghalang besar. Semua orang bisa mati karena
meminumnya! Kandungan di dalamnya tidak patut untuk dicerna.”
Kedua mata kami bertemu sesaat. Sama-sama meringgis kesal.
Tak lama, Ia mulai berpetuah kembali. “Kau seharusnya menyadari. Bahwa hujan
menciptakan serta menumbuhkan sebuah rasa. Cukup dengan memadukan lima huruf.
Cinta. Hujan adalah sebuah berkah bagi semua orang, karena dengan hujan semua
orang dapat terhipnotis. Menikmati indahnya hidup. Sebuah ketenangan adalah
anugerah yang mampu Aku rasakan dengan balutan air yang turun dari langit.
Hujan tak membuat orang kewalahan karena kehadirannya. Tapi hujan membantu
mereka beristirahat sejenak dari kesibukannya untuk mengisi segala ruang kosong
dalam hidupnya. Lagipula semua orang butuh air dalam kehidupannya kan? Lalu
kenapa kau marah dengan hujan? “
Laki-laki itu lagi-lagi berbisik pelan. Tapi Aku jelas
mendengar. Kata-katanya kali ini membuat Aku cukup diam. Tak mau kalah Aku
menambahkan. “Kau juga seharusnya menyadari akan satu hal. Minuman hitam yang
tak kau sukai terus beredar. Kenapa? Jangan heran, di luar sana banyak yang
memiliki rasa seperti yang kau bilang barusan. Cinta. Karena dia lah yang mampu
membuat minuman ini menjadi komoditas yang sangat besar. Kopi adalah sahabat
malamku. Dia mampu menjaga penglihatannya dengan baik. Kau seharusnya mencoba (Aku mengambil cangkir kopiku). Dekatkan
dulu penciumanmu di hadapannya, putarlah pelan cangkir kopimu, lalu isaplah
baunya dengan memejamkan kedua matamu. Ketika itu, barulah kau meminumnya perlahan.
Semua begitu nikmat bukan?” Aku tertawa kecil melihatnya begitu memperhatikan bagaimana
caraku menikmati minuman hitam itu.
“Aku senang, kau begitu berantusias dengan minumanmu itu…..”
belum selesai berbicara, laki-laki itu menoleh ke tempat semula. Jendela. Aku
pun turut mengikuti.
“Dimassss!!!” teriakan itu cukup keras di balik jendela yang
masih dialiri air.
Wanita putih itu melambaikan kedua tangannya. Laki-laki yang
berbagi meja denganku segera bergegas diri. Merapikan atribut yang ia kenakan.
Berlari perlahan menghampirinya keluar. Masih gerimis. Sekali dua kali mereka
saling melemparkan percikan air. Mereka tertawa sangat riang. Entah mengapa Aku
terus memperhatikan keduanya, sembari meneguk perlahan kopiku yang masih
tersisa. Dibalik jendela. Mereka mulai menjauh. Berlari perlahan. Sosok
laki-laki yang disebut dengan “Dimas” itu menoleh ke belakang. Matanya yang
tajam menatapku dengan lirih. Tangannya melambai-lambai. Aku tahu itu salam
perpisahan. Aku cepat membalasnya. Dengan tulus dan dengan batasan jendela
serta air hujan, kami saling memberi senyuman.
Kini, kedai yang kududuki sudak tak sepadat tadi. Hanya
tersisa sekumpulan gadis remaja dan dua pasang kekasih. Aku pun terdiam.
Tertawa kecil sendiri. Menoleh (lagi) kearah jendela yang kini beruap.
Pertemuanku dengan Dimas adalah pertemuan rasa untuk berbagi. Aku pun mulai
menghargai hujan. Dan Aku rasa, dia pun akan mencoba untuk tidak lagi membenci
kopi.
***
Komentar
Posting Komentar