Alarm Istimewaku Terkalahkan
Kisah
Kramadjati
Hingar-bingar massa mendengungkan telinga
Matahari terbangun menyapa bahagia
Kursi panjang dari semen pasir hanya terisi oleh kita
Renyahnya canda tawa mewarnai pagi hari
Aku tak banyak berbicara apalagi bercerita
Aku hanya lebih ingin mendengarkan
Aku hanya lebih ingin memperhatikan
Dengan cepat Kramadjati membawamu pergi
Aku terpaku, terdiam, dan tak berkata
Mataku mengarah pada satu arah
Bus yang kau tumpaki tertelan oleh waktu
Hanya asap kepergianmu yang menemaniku
Kala itu, kau harus tahu
Rindu sudah mendatangiku
-HI-
Puisi indah itu adalah pesan pertama yang Aku terima. Bait kata indah tersebut
menghantarkan kepergianku untuk melanjutkan kuliah di Universitas Padjadjaran.
Pertemuan kami selalu terpisahkan di tempat yang sama, terminal dengan bus Kramadjati seringkali menjadi pengatur waktu ketika
kami sedang asik bercerita. Saat pengeras suara sudah berkoar bahwa bus yang
Aku tumpangi akan berangkat, ketika itu Aku berhenti bercerita, yang Aku lihat
hanya raut wajah kesedihannya yang tak ingin merelakan kepergianku, tapi tak
bisa Ia cegahi. Tersadar hal itu, Aku dan dia akan sama-sama berjalan memperjuangkan
dan mempertahankan komitmen serta kepercayaan kami yang telah kami genggam
bersama kurang lebih selama dua tahun ini.
Hari-hariku diselimuti dengan kata-kata indah yang menyejukan
kepanasanku dan mencairkan kedinginanku. Salah satu kalimat yang membuatku
selalu percaya akan hubungan ini ialah ‘Ris,
Aku ini sangat amat mencintaimu. Tolong jaga kelakuanmu, Aku nggak mau sampe
kamu kepincut lelaki lain di luar sana. Aku juga akan menjaga diri dari
perempuan selain dirimu.’ Begitu katanya.
Sosok laki-laki yang membuat Aku
kagum tersebut ialah Hilman Irsyadi Prasetyo. Kami satu SMA ketika itu,
wajahnya tak begitu tampan tapi tingkah lakunya membuat dirinya menjadi pribadi
yang lebih tampan dari banyaknya laki-laki di luar sana. Tanpa ada kesepakatan
untuk berhubungan lebih dari teman, kami terlalu asik untuk memikirkan status
itu. Kami hanya tahu, bahwa kami nyaman dan tak ingin terpisahkan. Sudah.
Ohya perkenalkan. Aku adalah
perempuan yang berharap akan bersama selamanya mendampingi Hilman. Tak mengenal
jarak, bahwa Aku sangat amat mencintainya seperti dia menjaga pribadinya untuk
diriku. Aku memang kadang nakal, yang membuat hilman sangat khawatir akan hal
itu. Sama seperti Hilman, Aku pun tak suka ketika dia bersama seorang perempuan
selain diriku. Namaku Riris. Cukup panggil dengan sebutan itu.
Hari-hari berjalan seperti biasa.
Telepon genggam tak pernah lepas dari tanganku. Ketika dering terdengar, Aku
histeris kegirangan membuka pesan tersebut. Tak pernah bosan. Apapun kami
jadikan topik pembicaraan. Hilman tak pernah lelah mengingatkanku untuk tidak
melakukan hal-hal yang tidak baik. Ia hadir seperti pengingat bagiku, bukan
bermaksud menjadikannya sama seperti benda mati yang hanya berfungsi seperti
pengingat. Jika memang disebut alarm, Hilman adalah jenis alarm yang istimewa.
Tak sekedar bunyi untuk mengingatkan, tapi Hilman merupakan alarm yang mampu
membuktikan bahwa tak selamanya kami berada dalam kesendirian dan keterpurukan.
Dia mengajarkan Aku banyak hal. Tidak tahu apa yang sedang kulakukan, tak
perduli dengan siapa diriku, dia akan menjadi alarm dalam hidupku.
***
Pagi ini ada yang aneh. Saat Aku membuka BlackBerry
Messenger (BBM), kudapati
status Hilman.
“Aku sayang kamu, cintaaaa
bangeeeet.”
Aku yakin, ini bukan Hilmanku. Dia
tak pernah mau untuk mengumbar sayangnya padaku. Dengan penasaran, Aku tanya
kepadanya.
“Itu siapa yang nulis kaya gitu?”
Aku menekan tombol kirim untuk
menghantarkan chatku kepadanya.
“Tadi telepon genggamku sedang
dipinjam, tenyata dibajak sama dia.”
“Dipinjam sama siapa? Perempuan apa
laki-laki?” seketika perasaanku mulai tak enak.
“Perempuan, dia teman sekelasku.” kata Hilman
memperjelas.
“Oh siapa namanya? Kamu nggak bisa
ya, jaga telepon genggammu agar nggak ada yang bisa lihat terutama perempuan?”
Aku mulai marah. Mungkin ini sedikit berlebihan. Tapi Aku memang cemburuan. Cemburu
yang jelas dengan keterangan yang Aku miliki.
Dengan tenangnya Hilman bercerita,
“Ris, perempuan itu bernama Sofya. Saat itu Aku lupa meninggalkan telepon
genggamku di atas meja. Mungkin saat Aku lengah, dia
mencoba mengambilnya. Aku pun tidak tahu kalau dia membajakku jika kamu tak
berkomentar. Ohya, Sofya ini memang sering mendekatiku Ris.”
Kalimat terakhir itu membuatku
berpikir. “Lalu kamu suka dia? Aku mau minta pin BBMnya man!”
“Kenapa kamu nanya gitu? Aku nggak
ada apa-apa dengan dia ko. Untuk apa? Tak perlu ris.”
“Aku hanya ingin tau ko. Aku cuma
mau ngasih tau ke dia, bahwa kamu tuh punya Aku! Kamu bilang nggak sih ke dia?
Kamu tuh nggak sendirian man.” Jika tulisan ini bisa bicara, nada bicaraku benar-benar sudah tak tertahankan.
“Iya ris. Aku sangat amat
mencintaimu.”
Dengan seribu kata manisnya, Aku
selalu terkalahkan.
***
Kadang berhubungan itu tak seru jika
hanya berasa manis. Kami memang kadang suka bertengkar. Terutama jika salah
satu dari kami ada yang cemburu. Benar kata orang-orang, cemburu itu tanda
sayang. Tapi kadang Aku sempat bingung. Bukan hanya
Aku yang cemburu mengenai Sofya. Begitupun dengan Hilman yang pernah cemburu hanya dengan melihat gambar tampilan BBMku sedang bersama teman laki-laki. Aku akan memaklumi
jika pada gambar itu hanya Aku dan seorang laki-laki. Tapi bagaimana jika
foto itu lebih dari dua orang dan Aku bukan satu-satunya perempuan di foto itu,
hanya saja Aku berada di samping teman laki-lakiku? Apakah Hilman sudah
terlewat cemburu.
Untuk kedua kalinya, status BBM Hilman dibajak dengan
orang yang sama dengan kata-kata manis yang tak Aku suka, dia Sofya. Kali ini
Aku benar-benar merasa dipermainkan oleh perempuan
itu.
“Sekarang Aku minta pin perempuan
itu!” Aku memulai chat dengan
permintaan yang membuat Aku kesal untuk meminta itu kembali.
“Tidak perlu ris, maaf Aku tidak
menjaga telepon genggamku.”
“Kasih sekarang atau kita putus!” Entah
apa yang membuatku berani menulis ini. Tapi kali ini dia membuat Aku benar-benar marah.
Akhirnya dia memberikan pin
perempuan itu. Walau sebenarnya Aku tak berani untuk memulai chat dengannya. Aku hanya ingin memantau
kelakuan perempuan itu, dan
Aku hanya ingin dia tahu bahwa Hilman tak perlu perempuan lain selain diriku.
Titik.
***
Belakangan ini Aku tersadar,
komunikasi kami tak sesering dahulu. Kami sibuk akan peran kami masing-masing.
Terutama Hilman dengan sejuta kegiatannya. Selain mengikuti badan eksekutif di
universitasnya, dia juga mengikuti kegitan rohani, yang membuat dia kadang lupa
bahwa alarm istimewa harus selalu ada.
Dengan kekosangan ini, Aku
menyempatkan diri untuk bersenang-senang dibanding harus menunggu kehadiran
sosok yang sangat Aku rindukan, sosok yang sedang berjuang memperjuangkan masa
depan. Dia bilang itu masa depan kita. Di saat itu, Aku mulai menyibukan diri
dengan apapun untuk mengisi kejenuhan. Tanpa kusadari Aku mulai menemukan titik
kebahagianku lagi ketika bersama dengan dia. Bukan dengan Hilman.
Tak bermaksud untuk main belakang
dari Hilman. Aku tak tahan, jika telepon genggamku tak bersuara sesering
dahulu. Aku bosan ketika saat harus menunggu kehadiran seseorang yang tak
kunjung datang. Aku hanya sekedar berbalas pesan menghilangkan kejenuhan. Dia
yang ku maksud adalah seniorku di kampus. Fajar Ramdhan. Kerjaan kami hanya
bertengkar ketika bertemu. Dia terlalu sering membuatku menangis karena
kejailannya. Fajar jauh berbeda dengan tingkah laku Hilman. Kegilaannya kadang
membuat Aku heran. Tapi... dengan sadar dan sangat salah Aku menyadari, Aku nyaman pada keadaan ini.
Hilman masih belum bisa
berkomunikasi denganku seperti biasa. Dia masih sibuk menyusuri dunia
mahasiswanya. Malam itu, Aku masih mengingat kata-kata Hilman yang sungguh
meyakinkan, ketika Aku mempertanyakan hubungan ini.
“Man, Aku nggak bisa kaya gini!”
tegasku memulai pembicaraan.
“Nggak bisa gimana ris? Aku nggak
paham.” tutur Hilman.
“Kamu udah beda. Nggak pernah
hubungin Aku lagi kaya dulu. Aku ngga bisa kalau nggak komunikasi.”
“Ris, maafin Aku kalau kamu merasa
Aku terlalu sibuk. Tapi kamu harus yakin, Aku sekarang kaya gini untuk kamu
juga ko. Aku bukan kamu yang bisa dekat dengan lawan jenis. Kamu nggak usah
khawatir Aku mencintai perempuan lain. Dan kamu tahu kan, Aku ikut kegiatan
rohani dan Aku malu jika ketahuan dengan yang lain bahwa Aku punya hubungan
spesial dengan perempuan. Aku mau, kamu mengerti akan hal ini. Berulang kali Aku
menyakinkanmu bahwa Aku sangat amat mencintaimu. Aku ingin menjadi suami yang
hebat untukmu di masa depan nanti.”
Seketika, tanganku terhenti di atas keyboard. Pikiranku terbengkalai. Tak
tahu ingin membalas apa. Aku akui, Aku mulai
lelah dengan ini. Mencintai Hilman memang benar. Tapi Aku tidak mampu saat kau memintaku untuk tidak berkomunikasi denganmu.
Aku tidak bisa.
Hubungan Aku dan Hilman entah
seperti apa. Kami sangat jarang berinteraksi lagi, ya… walau hanya sesekali
menanyakan kabar atau sekedar mengucapkan kata ‘Hai’. Lain
cerita dengan Fajar. Hampir setiap hari dan sepanjang waktu kami berkomunikasi,
seperti Aku dan Hilman dahulu. Sebenarnya Aku tak ingin menyadari ini. Tapi
Fajar datang dengan segala kesempurnaanya di mataku, menjadikan dirinya alarm
yang selalu ada untuku. Aku pun takut disaat ada perasaan lain yang tak Aku undang datang saat Aku bersama dengan Fajar. Apa mungkin secepat ini Aku
melupakan perasaan dan semua yang telah Aku lalui dengan Hilman selama dua
tahun? Atau apa benar ada perasaan dimana mencintai dua orang sekaligus?
Yakinkah Aku bahwa ini bukan hanya pelampiasan mengisi kekosangan dalam diri?
Entahlah.
***
“Hilman kamu apa kabar?” Terlintas
dalam pikiranku menuju seseorang yang sedang sibuk ke luar kota untuk mewakili
universitasnya. Saat ini Aku benar-benar sedang dilanda kegelisahan.
Kebimbanganku terus menghantui. Aku tak bisa seperti ini. Hilman masih menjadi
orang yang spesial bagiku. Tapi di samping itu, Aku asik bercanda ria dengan
Fajar. Belum lagi belakangan ini Fajar mulai menunjukan kepedulian serta
perhatiannya secara lebih kepadaku.
Aku merasa ada yang tersimpan dalam tingkah lakunya terhadapku. Fajar sudah
mengetahui bahwa Aku sudah memiliki pasangan. Tapi kami sering kali bersama
menghabiskan waktu menyusuri dan menikmati kenyamanan ini. Aku mungkin sangat
jahat ketika Hilman sedang berusaha menjadi orang yang hebat untukku, tapi Aku
malah bermain-main di belakangnya.
Hari ini, Aku harus menanyakan
(lagi) bagaimana kelanjutan hubungan Aku dan Hilman. Tak banyak bercerita. Hilam seperti mengerti apa yang telah terjadi. Dengan
tegasnya dia sampaikan.
“Aku memang istimewa bagimu, tapi
maaf jika keistimewaanku ini tidak selalu ada untukmu dan Aku kecewa ketika Aku
terkalahkan dengan laki-laki yang memenangkan hatimu dariku. Tapi mau seperti
apa lagi. Aku jauh darimu. Aku tak sanggup menggapaimu dari sini. Aku tidak tau
apa yang kamu lakukan di luar sana. Yang Aku tahu dan kamu juga seharusnya
mengetahui ini, bahwa Aku sangat amat mencintaimu. Selalu. Tak mudah bagiku
mengatakan ini, tapi mungkin ini yang kamu mau.
Yaudah kita break aja.”
Kebingungan melandaku lagi. Aku tak mengerti, ekspresi apa yang harus Aku keluarkan setelah membaca
itu. Senang? Atau sedih? Aku lebih memilih tidur menghilangkan kepenatan ini.
***
Mentari sudah membangunkanku
menyelinap masuk melewati ruang kecil yang terbuka dari jendela kamar. Pagi ini
begitu cerah, disertai hembusan angin pagi memasuki tulang-tulang tubuhku penuh
kesejukan. Ku dapati telepon genggam di atas meja tepat berada di depanku. Ada
dua pesan yang belum ku baca. Sebelum kubuka pesan itu, telepon genggamku tepat
berada dichat bersama Hilman,
semalam. Aku yakinkan diri, bahwa Aku dan Hilman sudah break. Entah apa maksud Hilman ini mauku. Tapi kusimpulkan bahwa break sama saja halnya dengan dia
melepasku.
Rangkaian
huruf sedang beradu di kepalaku. Ingin rasanya Aku ungkapkan kepadanya. ‘Hilman, Aku sangat amat mencintaimu ketika
Aku masih merasakan kehadiranmu dihari-hariku. Maafkan Aku man, yang belum
menjadi perempuan seutuhnya menjaga cintamu, karena Aku bingung dengan perasaan
yang kurasakan pada diriku sendiri. Jika kamu kecewa dan
menganggapku perempuan jahat. Aku terima dengan hati lapang. Aku memang jahat
ketika kamu sedang berjuang menuju masa depan gemilang, Aku tak mendukungmu
akan hal itu. Maafkan Aku man yang selalu menginginkan kehadiranmu sebagai
pengingat. Tapi Aku tak bisa menjadikan diri ini sebagai pengingat akan
kesibukanmu. Man, maafkan Aku
yang tidak bisa menahan rasa ini untuk hadir dalam diriku. Aku bingung kemana
Aku akan berlabuh ketika kau sibuk dengan duniamu. Aku memang perempuan yang
tak tau diri. Di saat ada laki-laki dengan pribadi yang sangat baik menantiku,
Aku malah pergi menjauh dari dirimu. Hilman, Aku tak tahu harus berapa banyak
kata maaf yang harus ku berikan padamu. Mungkin itu belum cukup untuk
menandingi rasa sakitmu di sana. Tapi, yakinlah jika memang kita berjodoh. Aku
akan kembali padamu. Bukan kembali karena mempermainkanmu, tapi Aku akan
kembali ketika kita memang benar ditakdirkan
bersama.’
Untuk saat ini Aku tak punya
keberanian untuk membuka itu semua. Biarlah Aku menyimpannya.
Aku kembali menjalani hari dengan penuh semangat.
Bukan sudah melupakan Hilman. Bagiku Hilman memiliki tempat tersendiri di hati
ini. Aku ingin menyatakan satu hal. Bahwa kami masih berkelanjutan, Aku dengan
Fajar terus berkomunikasi layaknya dua orang yang memiliki hubungan. Tapi kami
masih terus begini. Berada dalam zona nyaman. Apa yang ada dalam pikiranku? Aku
tak tahu. Jelas bahwa kali ini Aku tak merelakan dirinya untuk pergi.
***
Komentar
Posting Komentar