Pelukan Pagi yang Hangat
"Fa, ayo cepat... udah gerimis!" aku menarik tangan Alifa lalu mengajaknya berlari menuju rumah yang paling nyaman.
"Untung kamu larinya cepet ya, Za."
"Iya dong. Aku kan atlet, atlet lari dari masalah." aku tertawa diikuti oleh sabahat di sampingku yang sedikit kebasahan.
Aku melirik jam tangan, "Masih jam 9 pagi" gumamku.
"Ayo kita masuk."
"Ayo." langkahku mengikuti Alifa di belakang, yang sebelumnya sudah melepaskan sepasang sepatu untuk disimpan rapi di tempat penyimpanan.
Kami memilih duduk di pelataran lantai atas. Terlihat mesjid di pinggir jalan ini sedikit ramai. Banyak orang yang singgah karena tidak mau mengadang hujan seperti kami.
"Jadi gimana persiapannya, Aziza?"
"Lho kamu ini ngeledek ya, yang mau dilamar kan kamu, ko malah aku yang ditanya persiapan."
"Malah karena belum ada yang melamar, jadi kamu harus fokus mempersiapkan diri. Setuju ga?" Alifa menyenggolkan siku kanannya ke tangan kiriku sambil menujukkan gigi gingsulnya.
"Iya, emang paling bener nih Ustadzah Alifaaa." kami tertawa bersama.
Kerap kali ketika bersamanya, arah obrolanku selalu terarah. Tidak mudah dibelokkan. Selalu saja aku menemukan kebenaran dalam ucapannya. Dan berjam-jam bersama Alifa hanya seperti hitungan menit, terlalu berlangsung sebentar.
"Eh serius deh, persiapan kamu lancar, Fa? Ada yang perlu aku bantu ga?"
"Udah 80% beres ko, ya paling mental aja nih yang masih takut."
"Fa, kalo kamu takut kenapa kamu mau dilanjutin?"
Alifa mengubah arah duduknya untuk melihat wajahku dan tersenyum, "Kita tuh ga hidup hanya dengan perasaan nyaman terus, Za. Ada kalanya kita takut, wajar. Tapi jangan biarkan rasa itu malah membuat kamu lemah dalam segala hal. Takut ada, agar kita juga bisa mempersiapkan berbagai cara untuk mengatasinya."
"Semisalnya.. apa yang kamu takutin itu kejadian, gimana?"
"Jangan sampe. Tapi kalopun iya, berarti Allah pilih aku untuk ujian tersebut."
"Ini arahnya kemana sih? kamu yang kayanya lebih takut dari aku ya?" tanya Alifa menambahkan kalimatnya.
Aku tersenyum malu. Rasanya selalu saja Alifa yang dapat membaca kemana semua arah pertanyaanku. Padahal usia kamu hanya terpaut satu tahun, Alifa yang lebih tua dan lebih dewasa dalam banyak hal. Dan aku selalu merasa mendapatkan dua peran dalam dirinya, sahabat dan seorang kakak yang sangat bijak.
"Za, aku tuh takut, tapi aku lebih membesarkan rasa yakinku untuk memilih ini. Menikah adalah hal baik yang Allah perintahahkan. Lalu aku menemukan laki-laki yang ingin menikahiku bukan karena cinta."
"Hah? gimana ceritanya dia mau nikah sama kamu tapi ga pake cinta?" suaraku agak mengeras kali ini, saking tidak terimanya sabahatku dinikahi oleh laki-laki yang tidak mencintainya.
"Shuttt, kita di mesjid lho ini." Alifa tertawa kecil. "Bukan karena cinta, karena itu ga akan pernah cukup, tapi karena iman, Za..."
Aku terdiam, lalu mengiyakan dengan anggukan kepala.
"Cinta tuh akan pudar kalo emang tidak didasarkan pada iman ya, aku sepakat."
"Za, nanti kalo semisal ada laki-laki yang bilang sayang atau cinta sama kamu, jangan mudah percaya, apalagi sampe baper duluan."
"Kenapa?" aku penasaran sekali dengan jawabannya kali ini.
"Karena kalo memang dia beneran sayang, dia pasti akan menjaga kamu bukannya malah tidak menjaga."
"Bentar bentar, tidak menjaga gimana maksud kamu?"
"Ya terus aja melakukan hal-hal yang ga perlu."
"Dipepet terus gitu ya?"
"Eh tapi kamu jangan salah paham. Laki-laki yang baik dan tau mana yang benar dan salah secara agama, dia tidak akan mendekatkan kamu kepada keburukkan. Katanya sayang, tapi ko ajak kamu terus melakukan hal yang ga baik?"
"Hal yang ga baik gimana sih, Fa?"
"Iya berduaan terus... atau bertukar kabar tapi di dalamnya ada perasaan yang tidak seharusnya ada, itu juga bisa jadi hal yang salah lho."
"Yah... nyindir aku lagi nih."
"Bukan nyindir... aku tuh sayang sama kamu, jadi aku pengen kamu juga bisa melihat seberapa sayang laki-laki ke kamu."
"Caranya?"
"Dia akan menjaga rasa sayangnya di jalan yang benar. Kalo sudah siap, harusnya dia cepat-cepat datang ke rumah kamu dan bertemu orangtua kamu. Harusnya dia jadi orang yang paling takut keduluan orang lain atau liat kamu dilamar sama orang lain. Tapi, jika memang dia di jalan yang salah dan kamu tau akan hal itu. Kenapa harus diteruskan? Kamu ga mau memulai suatu hal baik dengan cara yang salah kan?"
"Iya... gamau. Tapi kalo dia belum siap, gimana?"
"Ya siapkan diri dong. Bukannya aku mau berbicara seakan mempermudah segala hal. Tapi kalo dia punya maksud baik, ya lebih baik disampaikan, pasti Allah tuh bantu dengan mempermudah jalannya. Kalau ada yang memperlakukan kamu begitu, artinya laki-laki itu takut sama Allah. Bukannya malah terus ngajak kamu kesana kemari, mendekatkan kamu dari apa yang Allah larang. Dan pastinya dia atau kamu harus terus belajar, ngaji, datang ke majlis taklim, mendengarkan kajian, hal-hal seperti itu juga termasuk mempersiapkan diri secara ilmu dan mental. Nantinya kamu bisa bertemu dengan laki-laki di jalan yang sama. Sama-sama di jalan Allah. Lagian tujuan kita menikah tuh apa sih? selain memang mau bersama menuju surga Allah."
"Aku mau nangis rasanya, Fa." aku memeluknya erat-erat.
"Ini bukan hari pernikahanku, nangisnya ditahan dulu."
Komentar
Posting Komentar