Diamnya Bapak

Harusnya aku menulis kemarin malam. Tapi rasa kantuk datang tak tertahan, dan menghentikan tulisanku yang belum rampung. 

Malam kemarin, rasanya hatiku getir sekali. Ingin bertanya, tapi aku takut sekali menerima jawaban yang tidak ingin aku dengar. Beberapa kali sempat aku menguji, aku kira hanya sebatas bercanda. Hingga ketika suara ketok pintu terdengar memecahkan keheningan di dalam rumah. Mamaku segera menghampiri pintu sambil berkata, "Iya, siapa ya?" lalu didapatinya saudaraku dengan bungkusan besar berisi makanan, memberikannya kepada Mama dan langsung pulang. Aku yang kebetulan belum tidur dan lapar, langsung memberikan kode agar Mama membuka bungkusan itu di dalam kamarku, dengan pintu yang dibiarkan terbuka. Tidak jauh dari kamar, mungkin hanya berjarak 2,5m, Bapak sedang asik menonton acara televisi. Mama memanggilnya. Bapak diam. Aku memanggilnya. Bapak tetap diam. Lantas kami pikir, "oh mungkin Bapak tidak lapar". Kami dengan lahap memakan makanan yang berisi nasi, mie kecap baso, ayam kecap, oseng kacang panjang, dan beberapa kue basah. Hingga akhirnya kami kenyang, sebelum makanan itu habis, kami menghentikan mulut kami bekerja.

Lalu Mama jalan ke dapur, membawa bungkusan plastik yang hendak dibuang. Bapak seketika tersadar, bahwa ada orang yang melewatinya, lalu bertanya, "Itu apa ma?". Mama menjawab, "Tadi dikirimin makanan." Bapak menjawab dengan raut wajah bahagia, "Alhamdulilahhh, mana makanannya?" Mama sedikit heran, tapi langsung menjawab, bahwa makanan itu ada di kamarku.

Aku mendengar itu juga ikut heran. Bapak bergegas diri meninggalkan tayangan sinetron kesukaannya, kemudian berjalan menuju kamarku. Aku yang masih duduk di depan makanan itu hanya mempersilakan Bapak memakan makanan yang masih tersisa tadi. Aku melihatnya dengan saksama. Garis wajahnya sudah terlihat sangat jelas. Rambut putihnya semakin banyak. Jarak pandangnya juga sudah memudar. Tapi ada hal lain yang baru aku sadari. Dan aku memberanikan diri untuk bertanya, memberi peluang kepada rasa takut untuk hadir malam itu.

"Pak..."

"Hemm" jawab singkat Bapak sambil mengunyah nasi.

"Pendengaran Bapak sudah kurang jelas ya?" tanyaku pelan dan terbata-bata, takut-takut salah. 

Dengan santainya Bapak langsung menjawab, "Iya, efek kebanyakan makan obat kayanya."

Deg. Hatiku menangis. Mataku menahan tangis. Aku memilih diam, karena tak tau harus berkata apa.

Aku masih melihat Bapak yang makan dengan lahap. Ternyata diamnya Bapak bukan karena Bapak tidak lapar, tapi karena Bapak tidak mendengar. 

Aku sangat tersadar. Bahwa orangtuaku tidak muda lagi. Badannya terlihat sehat, tapi ringkih. Jiwanya ingin terlihat muda, tapi sifat kekanak-kanakannya semakin menjadi. Ingin terlihat kuat, tapi penyakit terus berdatangan, tak bisa dirahasiakan lagi. Sungguh, ini adalah fase membahagiakan karena ikut serta dalam penuaan orangtua, dapat menemani mereka, berharap kebahagiaan terus dapat dilimpahkan kepada mereka, lewat aku yang masih banyak kurangnya, tapi ini juga sangat menyakitkan. Aku sangat takut kehilangan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah Aku Seegois Ini?

Perasaan Semu

SayHay