Tulisan Malam Soal Kematian
Belakangan ini gue terlalu sering
mendapatkan kabar duka. Sanak saudara serta beberapa tetangga telah kembali ke
tempat semula. Meninggalkan keluarga yang begitu menyanyanginya. Pergi dan
tidak kembali. Seketika lingkungan rumah gue juga menjadi ramai selepas isya.
Warga terbagi menjadi beberapa kubu untuk ikut tahlilan ke rumah duka. Anak-anak
juga ikut serta. Malah paling semangat untuk sekadar pulang dengan membawa
bungkusan yang berisi makanan. Tanpa tahu bahwa itu adalah bentuk doa bersama
untuk almarhum dan bentuk baik dari kesedihan dari keluarga yang ditinggalkan.
Perlu diakui, kepergian memang fase yang paling jahat dan sulit diterima oleh siapapun. Tapi mau atau
tidak, siap atau belum, kematian itu bernilai pasti. Tidak bisa dikompromi. Sampai sekarang,
membahas kematian adalah obrolan yang paling gue hindari. Rasanya takut banget.
Jadi inget, dulu sebelum mengenal agama dengan baik (ya walau saat ini pun
masih dalam tahap belajar), gue gampang banget putus asa. Dikit-dikit selalu bilang,
mau mati aja. Tanpa berpikir bahwa timbangan tak seberapa. Hadeh, emang lo punya
orang dalam buat masuk surga? dan saat ini, Alhamdulillahnya gue belum ada keinginan untuk
bilang ‘mau mati aja’ kaya dulu. Enggak. Gue masih ngerasa kurang banget. Sadar telah banyak melakukan kesalahan (terus gimana ga sadarnya woy. Mau nangis aja huhu).
Kemarin, hari dimana saudara gue
meninggal, gue berada di sana saat menerima kabar bahwa Ia sudah tidak
sadarkan diri. Gue mencoba memeriksa denyut nadinya, napas dari lubang
hidungnya, tapi nihil. Dia memang sudah benar-benar pulang. Tangis gue meluap.
Ada ketakutan yang seketika menyergap isi kepala gue. Kematian itu nyata. Kapanpun
dan dimanapun. Tidak bisa diduga. Dan rasanya gue bener-bener ga siap dengan pulang atau
ditinggal pulang dengan keluarga gue sendiri. Ironis sekali memang.
Banyak hal yang pengen gue capai. Lagi-lagi hanya urusan duniawi. Ada perasaan takut untuk tertinggal dari kebanyakan orang. Padahal gue dan kita semua mengenal tak hanya dunia yang nyata. Setelahnya ada yang lebih kekal, yaitu akhirat. Gue bukan orang alim. Tapi sejujurnya, gue mulai gusar ketika melihat beberapa golongan yang seakan melupakan hal itu. Atau orang-orang yang dengan mudahnya mencari benda tajam untuk mencoba merenggut nyawa tanpa sedikitpun rasa takut di dalamnya. Menurut gue, keseimbangan sangat diperlukan. Atau ikuti ini, gue pernah baca ada yang bilang, “kejarlah akhirat, maka dunia akan mengikuti”.
Komentar
Posting Komentar