Cinta Baru


Perkenalkan. Namaku Annisa Giya Fahrani. Semua orang akrab memanggilku dengan Gee (re: Gi). Usiaku beranjak 18 tahun. Sebentar lagi akan melepas masa sweet seventeenku. Masa dimana Aku mulai membuka diri. Masa dimana Aku mulai berani memahami hal selain tumpukan buku-buku yang sering kali menjadi teman dalam hidupku. Masa dimana hal itu membawaku pergi layaknya berkunjung ke sebuah taman penuh dengan bunga indah. Hal tersebut yang membuatku mengerti akan keindahan dan kebahagian. Panggil saja hal tersebut dengan sebutan sakral, cinta.

Seringkali ledekan jomblo melandaku. Tak pernah kurasa bahwa Aku adalah orang yang terpuruk karena kesendirianku tanpa cinta. Memang, walau kadang sepi mampu membunuhku, tapi Aku masih merasakan baik-baik saja. Aku mampu menghirup udara sejuk tiap pagi dengan ditemani sambutan matahari serta tetesan air yang tergeletak di dedaunan yang telah jatuh dari langit. Penuh semangat Aku menjalani kegiatan tiap hari dengan banyaknya kenikmatan dan masih ditemani oleh sang cahaya dunia, jelas Aku mampu. Mataku pun mampu tertutup dengan ucapan selamat malam dari bulan dan bintang-bintang yang menemaniku ketika larutnya malam. Semua itu dapat berjalan tanpa adanya sosok yang menemani.
Tapi diri ini tak sadar, belakangan ini sosok yang tak pernah ada sebelumnya mampu memasuki duniaku tanpa adanya penolakan. Sosok itu membuat Aku bahagia akan kehadirannya. Dia membuat warna yang berbeda dalam hidupku. Dia mampu membuat diri ini seperti orang gila, yang dibuatnya tersenyum bahkan tertawa sendiri membaca chatnya. Kadang Aku dibuat pusing karenanya. Karena hingga sekarang Aku tak mengerti apa yang sebenarnya Ia inginkan. Tapi, bagaimanapun Aku bahagia.
***
“Hai” sapanya memulai perbincangan jarak jauh.
Sudah dua hari ini Ia menghilang tanpa kabar.
“Kemana aja?” tanyaku membalasnya.
“Lagi sibuk ngurusin kegiatan kampus nih jadinya rapat terus”.
“Wah semangat ya!”
“Makasih ya atas semangatnya. Walau kegiatan ini masih jauh, semangat dari kamu itu penting banget.” 
 “Iya sama-sama. Emang sejauh apa?” tanyaku tak paham
“Sejauh mataku memandangmu Gee. Aku rindu kamu.”  
Aku terdiam. Jari-jariku terhenti seketika. Tak terpikir akan mengetik apa. Huruf-huruf berhamburan kemana-mana. Aku rasa Aku berada di keadaan di mana perasaan ini mulai berada lebih di atas dibandingkan dengan logika. Perasaan yang terlalu cepat muncul atau Aku yang terlalu membawa perasaan ini sehingga tak terkendali. Ini bukan yang pertama Ia berkata-kata seolah hanya gombal biasa. Sebenarnya Aku tak mengerti apa mungkin semua ini adalah gambaran mengenai dirinya terhadapku. Aku paham betul semua manusia punya rasa kepedulian terhadap orang lain. Mungkin Aku wanita bodoh yang dapat langsung mempercayai bahwa rasa itu bukan hanya kepedulian biasa terhadap sesama manusia. Tapi ini, kepedulian yang dihamparkan di atas nama cinta.
***
Kami memiliki jarak. Komunikasi di antara kami kadang lancar kadang tidak. Kesibukan yang kami pilih berbeda dan menimbulkan hasil kejarangan dalam masalah kabar. Sekarang Aku menduduki bangku kuliah yang tak lagi senyaman dulu. Bukan hanya dengan dia, Aku dan keluargaku pun memiliki jarak. Kuliahku berada lima jam dari Bogor tempat asalku. Bandung ialah tempat dimana sekarang Aku berada. Sedangkan dia berada lebih jauh dari tempat asal yang sama, universitasnya berada di daerah budaya, Yogyakarta.
Rasanya sudah hampir satu tahun Aku dan Dia hanya berada di atas ketidakjelasan atas apa yang sudah kami lalui. Ralat bukan kami, sepertinya hanya Aku. Sejak dahulu Aku selalu merasa sikapnya berbeda kepadaku. Dia menjadi satu-satunya laki-laki yang Aku harapkan selalu ada mengisi kesendirianku. Ahmad Fikri, namanya. Laki-laki dengan perawakan tinggi, tidak kurus, tidak juga gemuk, kulitnya coklat dan terdapat lesung di pipinya yang membuat Aku selalu merindukan senyumnya.
Entah bagaimana hingga saat ini Aku masih terpesona melihat dirinya. Diawali ketika sedang asik meng-mc pada pertemuan OSIS ketika kami masih menjadi anak SMA. Tanpa disadari, Fikri mendapati diriku yang sedang memandangi wajahnya. Kemudian kami terbuai pada malam yang begitu hangat. Malam yang mempermudah kami bertegur sapa dan menukar nomor telepon.
Sejak saat itu tanpa terasa Aku mulai terbawa oleh perasaan yang kemarin belum Aku mengerti. Aku mulai merasa tak berdaya. Apalagi ketika Fikri mulai menghilang tanpa kabar.
***
Aku dan Fikri, kami jauh. Aku tak pernah tahu apa yang dia lakukan di luar sana. Membaca timeline semua media sosial miliknya, hanya itu yang dapat Aku lakukan. Ketika rasa ini mulai tak tertahan, bisakah Ia menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya? Salahkah Aku yang terlalu berlebihan mengganggap semua ini padahal hanya perhatian kepada sesama teman?
Aku rasa ini semua sudah tak bisa dibiarkan, karena Aku mulai kelaparan mengetahui kabarnya. Aku rindu. Aku rindu saat tak hanya matahari yang menyambut pagiku. Biasanya, ketika Aku buka mata dan kulihat handphone, Fikri adalah orang pertama yang selalu mengirim pesan padaku.

“Selamat Pagi Gee! Jangan lihat pesan ini terlalu lama. Ayo bangun... Shalat subuuuuuh!! Jangan lupa ngaji dulu ya biar aktivitas kamu berjalan lancar. Selancar sinyal pagi ini:)

Atau,

“Pagi Giya Fahrani ini pesan dari Ahmad Fikri. Tolong dibaca ya, Kamu harus beralih dari selimut tebalmu itu. Gerakan badanmu menuju kamar mandi, tapi kumpulkan nyawa dulu sebelum bergerak. Aku ngga mau denger bahwa Gee-mahasiswi Bandung terjatuh. Tau engga kenapa? karena Aku tidak bisa menangkapmu dari sini.”

Semua pesan yang kudapat setiap pagi dari Fikri adalah alasan mengapa Aku selalu bangun lebih awal hanya untuk tersenyum serta tertawa kecil melihat pesan darinya. Pagi hari menjadi favoriteku setelah Aku mengenal Fikri. Berharap pagi selalu datang lebih cepat dari biasanya. Tapi entah bermula dari kapan, semua kebahagian itu seakan musnah. Seperti kedatangan ombak besar yang melahap habis pasir yang sedang terdiam, tak bersalah. Fikri entah sibuk apa. Dia jarang sekali membalas pesan dariku.
Hampir beberapa hari ini, Aku memutarkan kepalaku. Berpikir. Ketidakjelasan ini memang harus jelas. Aku pun tak bisa memperjelas walau sekedar mempertanyakan sebuah pernyataan padanya, Aku belum mampu. Sampai akhirnya Aku memutuskan. Aku tak ingin terlalu lama dan jauh menunggu harapan yang tak pernah Aku tau kebenarannya. Sebuah kata pasrah mungkin sudah cukup menyudahi rasa lelahku ini.
***
 “Selamat pagi matahari!” sapaku dibalik jendela kamar yang tersorot cahayanya.
Aku ingin katakan bahwa Aku baik-baik saja. Mungkin mataharipun tahu setiap pagi Aku tak pernah lupa tersenyum. Hampir lima hari sudah kulewati. Aku berhasil untuk tidak mencari tahu keberadaannya yang hingga hari ini belum juga mengabariku. Harapan untuk mendapat kabar darinya, kuakui masih belum bisa lepas dari keinginanku. Tapi, akan Aku coba.
Kulalui hari dengan semangat yang masih Aku kumpulkan. Hari ini, Aku kuliah pagi. Jalan kaki menuju kampus adalah caraku menyambut pagi ini. Tapi harus Aku akui, walau sedang berusaha, langkahku tak seriang dulu. Dimana dulu masih ada sambutan manis dari Fikri. Bisakah kau kembalikan pagiku Fikri nan-jauh di sana? Dapatkah kau dengar Aku? Tuhan tolong bisikan dia.
***
Semua mata kuliah sudah aku jalani. Semuanya terasa hampa. Lalu kususuri lorong lantai dasar yang sepi. Aku memilih duduk pada kursi panjang dengan ditemani Sheila On 7 yang bernyanyi Berhenti Berharap dari handphoneku.
Sore itu, semua permasalahan seakan menggelantung ingin Aku ungkapkan. Aku terdiam. Sendiri. Berpikir. 
Handphoneku berdering. Tanda pesan masuk. Lamunanku tertunda.
Dengan lemah Aku balikkan handphoneku yang tergeletak duduk di sampingku untuk melihat layarnya. Tak percaya. Aku mengucekkan mata dengan kedua tanganku. Itu pesan dari Fikri. Seseorang yang berusaha Aku lupakan. Ia kembali.
Aku membaca dalam hati.
“Hai Gee. Apa kabar? Maaf ya, belakangan ini Aku sibuk jadi tak bisa menghubungimu.”
Aku masih berpikir, Aku putuskan untuk menulis semua yang Aku lamunkan.
“Aku berusaha sedang baik. Kau sendiri apa kabar? Bahagiakah kau disana? Sesungguhnya Aku rindu.” balasku dengan sejumlah kata yang masih tersimpan. Siap diungkapkan.
Tak lama, Fikri sudah membalas. “Kenapa berusaha? Aku sangat baik Gee. Aku pun bahagia. Dan Aku rasa, Aku pun merindukanmu.”
Aku hanya tersenyum lesu membacanya. Tak berniat menjawab pertanyaannya. Aku malah membalik tanya. “Fikri, Aku ingin bertanya.”
“Silahkan Gee. Ada apa? Kau baik-baik saja bukan?”
“Fik, semua ini sudah mengangguku. Entah kau berpendapat bagaimana tentang diriku. Aku hanya bertanya dan menyatakan yang sebenarnya, apa yang kau rasakan padaku? Apakah kau menyukaiku seperti Aku padamu? Tak bisa kah kau kembali untuk memberitahu apa yang terjadi? Fik, dulu Aku terbiasa sendiri. Aku mampu. Tapi, setelah itu kau mengusir kesendirianku. Kau menjatuhkan hatiku padamu. Entah kau sadar atau tidak. Aku berusaha menerima hadirmu. Aku sudah terbiasa denganmu ketika itu. Lalu kau pergi tanpa kabar. Haruskah Aku berusaha kembali dengan kemampuanku yang berhasil kau usir? Ini sulit. Doakan Aku ya, semoga berhasil.”
Tak secepat balasan sebelumnya. Aku pun menduduk ketika membaca ulang pesanku padanya. Mungkin saat ini Fikri sedang berpikir atau bimbang akan membalas apa.
***
Pagiku kembali ceria. Aku tahu bahwa cinta adalah hal indah yang harus kita syukuri. Cinta itu Fikri. Aku mencintainya. Dan Aku tak menyesal karena itu. Rasa cinta itu tak pernah bisa disalahkan dari pilihannya. Karena semua itu berjalan sangat cepat tanpa disadari. Aku belajar dari cinta. Apapun yang kita rasakan, ungkapkanlah selagi itu tidak menyeleweng. Jika tak bisa, cobalah kau tulis itu. Teringat pesan Fikri terakhir kali.”
“Gee sebelumnya Aku ingin minta maaf jika Aku sudah menganggu kehidupan riangmu. Maaf sekali. Aku tak bermaksud begitu. Aku memang berniat mendekatimu. Aku mencintaimu. Sungguh. Semua gombalan yang Aku beri adalah isi hatiku Gee. Bukan untuk mempermainkanmu. Tapi, Aku harus bilang padamu. Bahwa saat ini, ada seseorang di sini yang juga mendekatiku. Aku lebih mudah berkomunikasi dengannya. Aku tak berniat melukaimu. Aku kira kau tak punya rasa padaku. Dan untuk menghindari hal buruk, Aku menghilang dan tak ingin sesering dulu Aku memperhatikanmu. Aku rasa itu akan berhasil. Maafkan aku Gee.” 
Ketika itu. Air berjatuhan di pipiku. Tapi tak lama. Aku urungkan untuk menangis dan meratapi semuanya. Aku membasuh air mataku. Aku berusaha tersenyum sambil terisak. Tak apa. Setidaknya Aku sudah mengetahuinya. Bahwa Fikri memang mencintaiku.
Lagi-lagi Aku tak menyesal. Semua kebiasaan yang Aku lakukan dahulu, sebelum atau sesudah ada Fikri begitu saja berlalu. Tak meninggalkannya secara utuh. Semua menjadi baru. Kehidupan memang perlu di upgrade. Aku bahagia dengan segala yang telah terjadi. Bahagia karena mengenal dan mencintai Fikri. Karena berkatnya, Aku mampu melakukan apa yang kata hati inginkan. Sekarang. Aku tak menutup diri, yang mungkin menjadi pilihan kamu jika terjadi masalah yang sama. Tapi itu bukan pilihanku. Aku masih berteman baik dengan para lawan jenis. Membuka pintu hati. Aku rasa hal itu tak masalah, selagi Aku bisa memilih siapakah yang pantas untuk masuk. Karena hati tahu kemana dia mau. Saat ini, bisa dikatakan kabarku sangat baik. Aku siap untuk menerima cinta baru dalam hidupku. Perjalanan akan mulus atau tidak? Aku bagaimana Tuhan saja. Aku ikuti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah Aku Seegois Ini?

Perasaan Semu

SayHay