Perasaan Tak Bersalah

"Ayolah Aku tak mungkin terjerat oleh rasa yang jelas seharusnya tidak ada." gumamku dalam hati.
Kali ini, di bawah bintang yang bertebaran. Di atas kursi kayu panjang yang dihempas oleh angin malam. Aku sendiri tak urung masuk ke kamar. Memilih tak berdialog. Terdiam mengikuti perginya angan-angan.
Namanya Romi. Kami tak bersekolah dasar yang sama. Begitu juga dengan sekolah menengah pertama, menengah ke atas, dan juga tidak satu universitas. Kami berjarak tiga tahun. Jelas, dia lebih dewasa dibandingkanku. Kami mendiami kota yang sama. Hanya berbeda wilayah. Tapi sekarang, untuk beberapa bulan kedepan, kita berbeda kota, Aku kembali ke kota orang untuk melanjutkan kuliah. Itu kami. Berawal dari sosial media kami dipertemukan.
**

"Yuk ah mau ngga?" ajak romi kepadaku untuk mengantarnya membeli salah satu komik kesukaannya.
Tanpa khawatir aku jawab, "Yaudah hayu aja."
Hari itu hari sabtu. Bising sekali. Suara berdentuman, berasal dari cerobong asap yang menghitam. Orang-orang sedikit berlari keluar agar tidak lama mengantri di loket jaminan.  Kesantaian tak lebih penting dari penjagaan diri dan barang-barang yang mereka bawa. Aku baru meletakkan kartu di atas tombol yang memperbolehkan aku masuk. Mata dan tanganku tak henti mengutak-atik handphoneku. Menanti kabar darinya. Aku terhenti di balik tiang tinggi bersama orang-orang yang terdiam sedang menunggu.
"Hai, yuk." sosok laki-laki yang lebih tinggi dariku menyapa dengan senyuman. Ia memakai kaos hitam yang tertutup kemeja biru pekat. Menggenakan celana jeans hitam. Membawa tas selempang kecil, dan menapaki kedua kakinya dengan sepatu tali yang terlihat nyaman. Sang pemilik rambut yang kira-kira tingginya 2 cm mengajak aku melewati orang-orang sekitar dengan gestruk tubuhnya. Aku hanya nurut. Mengikuti di belakangnya dan memperhatikan agar tidak salah orang. Setelah berjalan berdampingan, aku yakin. Dia benar-benar Romi. Laki-laki yang telah seminggu berbalas chat denganku.
Di depan pintu masuk sebelah kanan. Kami memilih untuk berdiri di sana. Menggantungkan tangan pada pegangan. Sesekali terdiam. Sesekali melirik ke balik jendela luar. Transportasi panjang ini sudah berjalan. Di bawah kesejukan kami bingung akan memulai. Alhasil, perbincangan yang sudah kami bahas di chat menjadi pilihan. Tak berbeda. Romi asli sama dengan Romi yang ku kenal dari tulisan.
Setelah sampai. Kami susuri jalan panjang yang tersinar terik matahari menuju tempat berlindung yang dibalut dengan kesejukan buatan. Satu tempat yang pertama kami kunjungi dan menjadi tujuan kami adalah toko buku. Dari luar, barisan buku tersusun cantik berhasil terhindar dari ketidakeruan. Sebelah kiri setelah melewati pintu masuk terdapat meja yang sudah tertumpuk puluhan komik. Berbagai kalangan usia sudah berdiri di sana dengan memegang komik yang mereka baca. Begitupun dengan dia. Dengan penuh gairah, ia mengajakku berdiri di antara orang-orang tersebut. Ia sibuk memilah-milih komik yang akan dibelinya, sedangkan aku sesekali membuka lembaran komik tanpa kubaca. Lalu Aku memilih pergi dengan pamit tanpa kata, menyusuri rak buku lainnya, novel. Setelah selesai mendapatkan komik yang ia mau, Romi menghampiriku, mengajak keluar dari toko buku. Makan menjadi pilihan kami sebelum pulang.
Tak sama seperti keberangkatan. Kepulangan membawa kami tertarik menceritakan serta mengulas peristiwa menarik. Kami lebih sering tertawa. Masih di depan pintu masuk sebelah kanan. Di bawah kesejukan ac. Menggantungkan tangan sebagai alat bertahan. Berhadapan. Kami saling tatap. Semua berjalan seperti kami sudah mengenal dalam waktu yang lama. Walau sebenarnya, aku merasakan jantungku berdebar kencang.
***
Ini pertama kalinya aku penuh keberanian pergi dengan orang asing yang benar-benar asing. Semua berjalan dengan baik. Firasat dia akan menculik diriku hanyalah firasat belaka. Pertemuan pertama tak membuatnya kecewa lantas tak mau berbincang lagi denganku. Aku salah. Kami terus berinteraksi melewati beberapa sosial media. Tanpa kusadari dia selalu ada tiap hari. Tak pernah hilang tanpa kabar. Semua cerita kehidupannya satu pesatu menjadi bahan perbincangan. Aku antusias mendengarkan dan sesekali berpetuah padanya. Bukan hanya itu, perhatiannya padaku mulai bergejolak tak biasa.
Maaf. Saat-saat ini Aku hanya menjadi wanita yang berpura-pura tak mengetahui gerak-geriknya menahan rasa.
Semakin jauh semakin banyak pula yang aku ketahui tetang dirinya. Romi laki-laki berparas putih, hidung mancung, dan memiliki senyum yang manis mulai membuat aku nyaman berada di dunianya. Pada akhirnya, permintaannya akan memiliki status denganku itu muncul di sela-sela kebahagiaan yang aku punya.
"Tia, aku ngga tau ini apa. Aku ngga tau kenapa sekarang aku kaya gini. Aku cuma berusaha jujur dengan apa yang udah terjadi. Dan jelas-jelas aku ngga mau bohong sama diri sendiri dan juga sama kamu. Aku pengen ikatan kita tak hanya sebatas teman. Aku pengen kita bareng-bareng saling peduli, saling memperhatikan, dan saling mengingatkan. Aku pengen itu terwujud. Tia apa kamu mau?" katanya tertera jelas via chat, tanpa bisa Aku mendengar ucapan yang seharusnya meyakinkanku.
Ketika itu, aku sadar. Kenyamanan yang Aku terima darinya tidak harus ada. Aku lupa bahwa aku terlalu jauh membuatnya terjatuh. Aku lupa bahwa dia selalu memiliki gairah penuh semangat mencari tahu akan duniaku. Aku lupa bahwa aku membuat dia lupa bahwa ini tak harusnya terjadi. Tapi ini sudah terjadi. Perasaan tak akan pernah salah. Aku pun tak menyalahkan dirinya mengenai ini, karena aku tahu perasaan itu tak sembarang terjatuh tanpa ada faktor yang membuatnya terjatuh. Jatuh hati kepada seseorang bukan seperti sedang menjemur pakaian yang dengan bebasnya kita simpan dimana semau kita. Bukan, ini berbeda.
Saat itu, Aku berpikir cukup lama. Mungkin Aku akan menjadi wanita jahat yang lantas pergi dengan menolaknya mentah-mentah. Aku tahu bahwa itu salah. Aku pun enggan melakukannya. Mungkin seharusnya rasa nyaman ini sudah cukup menjadi alasan aku untuk menerimanya. Tapi entah kenapa, Aku rasa ini terlalu cepat. Aku tak mengenalinya dengan baik. Kami hanya dipertemukan lewat kata. Pertemuan tanpa ekspresi yang dapat terlihat. Pertemuan yang juga tidak dapat diraba akan kejujuran atau kebohongan. Alhasil, berbagai huruf menjadi kata kemudian bersatu menjadi kalimat yang aku lontarkan atas ketidakmampuan aku menerimanya.
"Rom, Aku juga ngga mau bohong dengan apa yang Aku rasakan. Aku respect sama kamu. Tapi aku rasa kamu harus bertanya lagi sama dirimu sendiri, Apa ini benar? sedangkan kita baru bertemu satu kali. Bahkan satu kali itu tak memberitahu banyak tentang masing-masing pribadi kita sendiri. Kata-kata tanpa raut wajah kadang dapat disalah artikan. Aku takut buat nerima ini."
“Yaaah hasilnya minus ya? Hmm.. yaudah ngga apa-apa ko. Mungkin Aku terlalu cepat. Jangan merasa canggung ya setelah ini.” Aku tertawa penuh keheranan membaca balasan setelah aku menolaknya.
Dia laki-laki baik yang dengan lapang dada memberi pengertian. Romi tak pergi. Masih hadir dalam hari-hariku. Ketika itu, Aku takut membawa dia benar-benar terlalu jauh. Entah apa yang Aku pikirkan. Aku masih terus membalas pesan darinya. Tak bisa dipungkiri bahwa rasa nyaman ini sudah terlanjur menetap. Hanya saja aku merasa takut ketika aku biarkan rasa itu akan mulai tumbuh. Ketidaksanggupan aku membesarkannya akan segera aku halangi. Jika semua bilang bahwa aku salah karena menyepelekan perasaan yang jelas tak bersalah, aku benarkan. Semua orang memiliki pemikiran dalam dirinya masing-masing, aku pun begitu. Ada hal lain yang melebihi rasa nyamanku padamu.
***
Malam ini, Aku ditemani dengan hujan yang merdu. Percikan airnya tanpa sadar telah menyadarkan aku akan satu hal, kenyamanan bukan hanya butuh kejelasan, tapi juga butuh kepastian.
Sudahlah apapun itu, aku pasti sanggup memastikannya. Aku pasti bisa berkata jujur pada diriku sendiri, yang sedang aku usahakan sekarang. Mungkin dibalik gadget yang dihantarkan sinyal aku bisa mengatasi semuanya. "Mungkin saat ini aku telah berani melawan rasa takutku sendiri. Aku hanya ingin jujur seperti yang kau lakukan atas perasaanmu. Romi, terimakasih atas perasaan yang kau beri untukku. Terimakasih atas segala kisah yang aku terima darimu. Terimakasih atas perhatian yang tiap harinya tak pernah berkurang. Terimakasih pula kau berhasil menjadi satu-satunya teman asingku yang terlama. Beberapa hari ini aku mencari kata yang lebih tinggi dari kata maaf, tapi tak berhasil. Maafkan aku Rom, yang telah membawamu memasuki zona yang seharusnya tak perlu kau masuki. Hingga akhirnya, dengan keberanianmu kau benar-benar memasukinya tanpa ragu. Romi kau baik. Memang, aku belum benar-benar mengenalmu, aku hanya mengikuti kata hatiku. Saat ini aku hanya ingin sampaikan, ketakutan aku menerima ini semua jauh lebih besar dari percaya diriku saat ini. Aku tak ingin kau pergi. Tapi aku pun tak mempercayai itu. Aku tak ingin menjalin hubungan dengan sosok yang tak aku kenal secara kasat mata. Romi maafkan aku. Ketakutanku membuat Aku tak berani mengambil resiko. Mulai saat ini, mungkin kita tak perlu berinteraksi sesering kemarin. Aku takut mengulang kesalahan yang sama, membuatmu terjatuh. Dan aku pun lebih takut tak bisa membantumu bangkit tanpa adanya ikatan yang lebih dari sekedar teman saat itu terjadi. Biarlah waktu yang akan melepaskan kisah ini bersama angin. Sehingga ketika rindu itu muncul, aku akan menyapa kisah kita dibalik gerakan udara. Untuk mengakhiri pesan ini, semoga kau memaafkan aku dengan ketakutan yang sudah aku jelaskan. Aku harap dengan kedewasaan kamu dapat menerima ini dengan benar."
Pertemuan ini mungkin akan berakhir sebagaimana tak seharusnya terjadi. Tuturan tersebut akan aku sampaikan padanya nanti. Ketika aku sanggup melepasnya untuk pergi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah Aku Seegois Ini?

Perasaan Semu

SayHay