Netralis
Kepadamu
yang baru saja aku kenal, kau berhasil menorehkan goresan cukup dalam. Saat ini
aku ingin bercerita kepada orang yang ingin mendengarkan. Alasan sama membangun
komunitas tercinta, membuat kami bertemu dalam rasa. Mungkin aku lebih dulu
mengenalnya sebelum dia menyadari bahwa ada namaku dalam ruang yang sama.
Perkenalkan
Aku hanya gadis yang mencoba berperan selaras dengan namaku, Indah. Aku mencoba
menjalani hidup dengan indah sebagaimana mestinya. Aku mencoba mengelokkan diri
dengan tutur dan perbuatan yang baik. Aku hanya berusaha menjadi indah yang mengindahkan semua orang. Semua orang yang masuk duniaku pasti tahu. Ada
beberapa sikap dalam diriku yang tak bisa aku sembunyikan. Menjaga tutur yang
baik bukan berarti aku harus diam. Aku gadis super aktif, kata orang. Cadangan
energiku terbilang sangat banyak dan selalu menjadi orang berakal dimana orang
lain sudah mulai terlelap.
Tentu
semua orang hanya bisa memprediksi. Seperti halnya dengan Aku yang memprediksi
tentang dia. Awalnya Aku tak pernah berpikir bahwa ini akan terjadi. Jelas
tertera, bahwa malam itu, sebuah pertanyaan yang berhasil diantar sinyal telah sampai
pada layar handphoneku dan menjadi
sorot utama bagiku.
“Indah? Kalau besok jadwal kelas kamu jam berapa
ya?”
Dia
bernama Fikri, senior di kampusku. Kami berbeda jurusan tapi satu fakultas dan
berselisih satu tingkat. Aku tak paham, apa alasan Aku menjadikan dia sumber
perhatian belakangan ini. Terlebih lagi, sebuah pertanyaan tersebut menjadi
perangkap bagiku dalam dunianya. Tak pernah disangka, setiap hari kami selalu
bertukar cerita. Kami selalu bercanda tawa dan mengoceh dalam dunia yang kami
buat dalam kata. Bagiku ini menyenangkan. Memasuki dan menjelajah kehidupan
orang lain yang kita senangi itu membahagiakan.
Lama-lama
sosok itu menjadi sosok yang selalu berhasil mengeluarkan senyumku. Sosok yang
membuat Aku selalu ingin bertemu. Sosok yang mulai bisa Aku jadikan alasan
untuk merindu.
***
“Ndah, mending
kamu jangan seneng dulu deh sama dia. Please,
enggak usah baper.” wajah Aldo seketika
menjadi kaku setelah Aku ceritakan betapa senangnya yang sudah seminggu ini mempunyai
kesempatan untuk berbalas chat dengan
Ka Fikri.
Aldo
adalah teman dekatku. Kami bertemu dalam ospek jurusan. Dia laki-laki baik yang
mengerti apa mauku. Jika kalian bertanya, mungkinkah ada dua sosok yang berbeda
jenis berdekatan tanpa ada rasa saling suka? Aku meyakini untuk menjawab, ada.
Itu aku dan aldo. Yang sejak dulu menjalin tali persahabatan. Apapun itu, Aku
usahakan untuk bercerita kepadanya. Begitu halnya dengan masalah ini.
Wajahku bingung
mendapatkan respon Aldo yang tidak mengenakkan “Emang kenapa do?”
“Ka Fikri tuh
enggak sendirian Ndah. Dia udah ada cewe.” kata Aldo ringan sekali.
Aku diam. Serasa
dijatuhi batu besar. Aku masih menatap Aldo penuh kekecewaan. “Beneran? Kamu
kata siapa? Cewenya siapa?” Aku mulai penasaran menerima kenyataan.
“Dia teman
sekelasnya Ndah.”
“Tapi, Aku chatingan
doang ko sama dia.” kataku yang mulai malu mengakui bahwa ada rasa lain sekedar
dengan teman chat.
“Yaudah kalau
mau chatingan enggak apa-apa ko. Tapi harus bisa jaga perasaan ya?” tutur Aldo
melirik senyum kepadaku yang masam.
Sejak
itu, Aku tahu bahwa orang yang selalu ada dalam kata, tak bisa ada dalam nyata.
Semua pupus seketika. Menginginkanku untuk berhenti membalas chatnya. Tapi itu
tidak semudah yang Aku bayangkan. Mengingat kembali saat awal, dimana Aku selalu
mencari bahasan, berharap agar chat
itu tak berhenti, apapun itu. Tapi sekarang, Aku ingin menarik semua bahasan
dan enggan kembali. Itu semua masih sekedar ucapan yang belum dapat Aku
realisasikan.
***
Hari-hari
masih berlanjut. Pagi yang cerah Aku seguhkan sebuah cerita. Untuk hari ini Aku
memilih cerita yaitu bercerita mengenai cerita orang lain. Ka Fikri dan wanita teman
sekelasnya.
Beberapa
kali Aku memergokinya sedang tersenyum atau tertawa sendiri melirik layar handphonenya. Enggan masuk mencari tahu.
Tapi kadang posisi dia yang berada di sebelahku secara tidak langsung
mengizinkanku untuk membaca sekilas nama yang tertera dalam ruang chatnya. Awalnya, Aku hanya ingin bersikap biasa saja.
Tak ada hak serta alasan yang pantas Aku ajukkan untuk marah kepadanya. Tapi
entah mengapa tak ada kata lain yang bisa Aku gambarkan bagaimana keadaan Aku
ketika itu, selain kecewa. Belum lagi, beberapa kabar tentang keberadaan mereka
yang terlihat bersama, itu menjadi penambah keyakinanku untuk pergi. Aku rasa,
pergi adalah satu-satunya cara terbaik untuk menjauh, bukan menjauh lantas
pergi tak urung kembali, lebih tepatnya Aku pergi dari rasa kecewa ketika
berada di dekatnya. Aku hendak melupakan perasaan yang kian membara. Aku sadar,
Aku yang salah. Aku berani memasuki duniamu tanpa izin. Aku memasuki duniamu
tanpa melihat sekeliling. Atau boleh jadi Aku memasuki duniamu karena tak kuat
menahan magnet yang menarikku masuk ke dalamnya. Maafkan Aku.
***
Matahari
mulai malu-malu terbangun. Aku yang sejak tadi duduk di teras tertegun
memperhatikannya. Burung-burung sudah berkeliaran bernyanyi riang. Ayam di
depan rumah tak mau kalah, mereka berkokok merdu ingin juga diperhatikan. Aku
rasa, Aku baik. Mungkin sudah 7 hari berlalu tanpa tertera nama Fikri dalam
layar handphoneku. Aku meyakinkan
diri, bahwa keputusan pergi adalah yang terbaik. Ketika itu, Aku siap menerima
segala kemungkinan yang akan ku lihat. Tapi nyatanya Aku keliru.
Ka
Fikri yang menyadari kepergianku, mulai bertanya sana-sini. Aku berusaha
bersikap biasa seperti yang sudah sempat Aku lakukan. Tak ingin terlalu menghiraukan. Semenjak itu, tak
henti-hentinya ka Fikri mengirim pesan kepadaku. Aku dengan sikap jahat, hanya
melihat dari luar, tak masuk ke dalam room, apalagi menyempatkan untuk membalasnya, tidak. Aku hanya ingin menetralkan
semuanya. Bukan hanya Aldo, orang yang berada di sekelilingku yang mulai geram
dengan tingkahku begitu. Katanya, ka Fikri serius denganku. Dia telah berpisah
dari wanita teman sekelasnya. Otakku penuh pikiran tentang dirinya. Jika
sekarang telah berpisah, Apa kemarin-kemarin dia mempermainkanku? Apa dia pikir Aku dengan mudah menerimanya setelah dia mencampakkan wanita itu? Aku tau bagaimana rasa sakitnya. Kenapa dia jahat sekali!
Hari
ini hari jumat. Kegiatan di kampusku sangat padat, dan mengharuskan Aku berada
di kampus hingga larut malam. Tak kusangka. Ketika Aku baru saja menempelkan
punggung ke dinding Lobby fakultas, ka Fikri datang menghampiri.
“Ndah, bisa
ngobrol sebentar.”
Aku tidak
langsung menjawab. Aku masih menatapnya penuh tanya.
“Ndah, bisa
ngobrol sebentar.” ucapannya terulang untuk memastikan.
Wajahku masih
penuh kebingungan, sebenarnya Aku takut dengan apa yang hendak diobrolkan.
“Bisa ka.
Dimana?” jawabku so yakin.
“Di kantin aja
ya.” Ka Fikri mulai tersenyum sangat manis malam itu.
Aku langsung
melepaskan posisi punggungku yang nyaman. Berdiri di belakang punggungnya,
lantas mengikutinya menyusuri jalan menuju kantin.
Setibanya, kami
duduk sebelahan. Kali ini Aku yang memulai.
“Ada apa ka?”
tanyaku lekat-lekat memperhatikan wajahnya yang seperti menyimpan suatu
persoalan.
“Sebelumnya Aku
mau cerita sama kamu Ndah. Cerita dari awal bagaimana ini terjadi. Jujur Aku
tidak sabar menunggu kepastian dari ketidakjelasan ini.”
Aku tak
merespon. Masih menunggu kelanjutannya.
“Aku dengan
wanita itu tidak ada apa-apa. Jika tak percaya, silahkan kamu cek. Memang kami
dulu sempat dekat tapi untuk kali ini, kamu harus percaya, bahwa kami memang
tidak memiliki ikatan apa-apa dan kami sudah lama tidak bertukar kata. Jujur
awalnya kaka merasa biasa aja ndah sama kamu, tapi lama-lama perasaan tak bisa
dibohongi. Dengan segala kecerian yang kamu punya, menimbulkan efek yang baik
bagi kaka. Kaka senang sekali berada di dekatmu. Kaka juga tau, kamu itu hamble kepada semua orang. Tapi kaka
percaya dengan semua yang telah kita lewati,
hamble kamu ke kaka itu
berbeda. Kata Aldo, kamu sekarang ragu ya ndah? Kaka juga ingin memastkan, boleh
tau kenapa?”
Aku masih
berpikir hendak mengatakan apa. Semua yang ada di otak, langsung Aku tuangkan.
“Aku juga mau bilang yang sejujurnya. Sebelumnya Aku merasa jahat karena telah
memasuki dunia yang salah. Aku wanita dan takut menyakiti wanita lain. Jika
kaka ingin tau, Aku memang memiliki rasa, rasa yang berbeda dan bukan hanya
sekedar senior di kampus. Tapi seiring rasa itu berkembang, di sisi lain ada
hal yang mendorong tidak setuju dengan perkembangannya. Aku tak yakin, seperti
yang kaka sudah tau, Aku memang ragu.”
Aku terhenti,
mengambil napas dan berpikir sejenak. Lalu kembali melanjutkan. “Keadaan ini
sangat membingungkan. Aku mulai yakin untuk pergi menghilangkan rasa yang dulu
Aku punya. Aku mulai bisa menetralkan diri ini ketika mendengar kabar tentangmu
dengan dia. Tapi dengan mudahnya, kau datang dengan sejuta rasa percaya dirimu.
Aku sakit hati ka. Ketika berdua denganmu, tapi kamu asik dengan teman chatmu. Kamu tertawa seakan tak melihat
bahwa di sebelahmu ada yang terisak penuh kekecewaan. Aku tak bisa
mengatasinya. Aku lemah. Kau mungkin tidak sengaja menorehkan luka ini, tapi
yang jelas, ketidaksengajaanmu menimbulkan sakit yang tidak dibuat-buat.”
Ceritaku usai.
Kembali ka Fikri bercerita,
“Kau tau, Aku
menyesali bahwa ini terjadi. Kamu adalah pelarianku, itu adalah kalimat yang
paling Aku takuti ketika mengenalmu lebih jauh. Aku pun takut memutuskan,
karena Aku tak ingin menyakitimu. Tapi dengan pesonamu, Aku meyakini untuk
lebih memilihmu. Ini semua terlepas dari kata pelarian atau permainan. Mungkin
terlalu simple jika Aku hanya bilang
maaf atas ketidaksengajaan yang membuat kamu jatuh sakit. Tapi hanya maaflah,
satu-satunya kata yang berharga untuk semua persoalan di dunia. Kaka ingin
bertanya padamu, benarkah kamu sudah tak ada rasa? Lalu jika kamu ragu, berapa
lama keraguan itu akan hilang dan berapa lama kaka harus menunggu? Lantas apa
yang harus Aku lakukan agar kamu tidak ragu?”
Tanpa berpikir
lama, dengan yakin Aku menjawab. “Aku memang masih ragu hingga saat ini. Untuk
menetralkan perasaan itu tidak mudah ka. Jika ditanya kapan, Aku tidak tau.
Kaka pun tak perlu melakukan apa-apa. Yang Aku tau, bahwa perasaan itu muncul
tiba-tiba, dan Aku tidak bisa memastikan kapan dia akan tumbuh kembali. Aku
tidak tau.”
Semua
jawabanku atas pertanyaannya, mungkin sudah cukup menjelaskan. Katanya, biarkan
kisah kita seperti air yang mengalir. Aku mengiyakan, walau sebenarnya, air
yang mengalir tanpa tujuan itu percuma. Kemudian hari, setelah itu, kami masih
sering bertukar pesan. Sebenarnya, Aku ingin menimbulkan rasa awal yang dulu
kembali, tapi itu sulit. Hingga saat ini, kata netral itu masih berfungsi. Aku yang
telah menanam bibit dan membiarkan dia tumbuh, lalu Aku meninggalkannya begitu saja,
memang jahat. Tapi mampukah kalian memaksakan perasaan yang sebenarnya telah
tiada? Atau sanggupkah mengembalikan perasaan dengan cepat kepada orang yang
telah melukainya? Pikir ulang dengan segala tindakan. Aku tak ingin salah
memilih. Maafkan Aku yang menetralkan perasaan secara sepihak. Saat ini,
biarkan Aku menjadi netralis terhadap rasa kepadamu. Jika perubahan itu ada,
Aku akan mengatakannya. Ka Fikri pernah bilang, perasaan itu tidak bisa
dipaksakan, tapi perasaan itu bisa berubah. Memang, semua bisa berubah, tapi entah
berubah kearah mana dan butuh waktu berapa lama. Aku rasa ini semua hanya masalah
waktu. Aku dan ka Fikri memang bertemu dalam rasa, tapi kami belum dipertemukan
dalam satu waktu dengan rasa yang sama.
***
Komentar
Posting Komentar