Contoh Kritik || Ketika Daun Bercerita

Indriani Okfri Auralia
XII IPA 1
Ketika Daun Bercerita




Siapa tak kenal dengan pohon. Pohon adalah  tumbuhan yang berbatang keras dan panjang. Memang, kita mengenal pohon hanya sebagai sebuah benda mati. Siapa sangka, Maradilla Syachrida, penulis baru yang tak sering kita jumpai namanya, lewat novel pertamanya yang berjudul “Ketika Daun Bercerita” begitu asik menampar kehidupan manusia dengan jalan pikiran melalui sebuah pohon. Kesan pertama melihat novelnya pasti para pembaca dibuatnya penasaran. Dan pasti banyak pertanyaan yang timbul. Apakah daun memang bisa bercerita? Atau hanya sebuah majas belaka?
Pendapat Aristoteles yang berkata bahwa tanaman mempunyai jiwa namun tidak memiliki perasaan, dibantah penulis begitu saja. Dalam cerita, si penulis berpendapat bahwa pohon adalah objek dalam hidup, memiliki perasaan sensitif dan mempunyai keterikatan emosional dalam ruang. Penulis mengemas novelnya yang sangat imajinatif ini dengan tema yang sederhana, bahasa yang mudah dimengerti, mempunyai alur dan kisah yang sangat menarik dan membuat para pembaca mendapatkan berbagai pelajaran dari sebuah pohon.
Dalam cerita tersebut dijumpai dua sahabat yang senang bercerita. Mereka bukan manusia, tapi hanya sebuah pohon yang seringkali mengeluh dalam keadaan yang mereka rasakan. Mereka tinggal di sebuah lapangan komplek yang selalu ramai pengunjungnya.
Kita memang seringkali  mengganggap pohon itu buta, tuli, serta bodoh. Tapi si penulis membuat kedua pohon ini dapat mengetahui, melihat, serta dapat mendengar suara orang-orang yang berada di sekitar mereka. Secara tak langsung mereka berdua masuk dalam kehidupan manusia, tanpa di sadari manusia itu sendiri.
Baba dan Kimi, merupakan nama yang diberikan si penulis lewat gadis-gadis kecil yang sering bermain di bawah mereka. Baba adalah sebuah pohon angsana besar di tepi lapangan yang memiliki tinggi yang dapat mengalahkan tinggi sebuah rumah mewah, memiliki kayu yang berkualitas baik sekali, dan memiliki banyak ranting dan daun, walau terdapat beberapa ular di daunnya, yang merupakan tokoh utama dalam cerita tersebut. Bersama sahabatnya, Kimi. Pohon angsana berukuran sedang dan memiliki perbedaan usia yang sangat jauh dengan Baba. Penulis pun memaparkan pemberontakan kedua pohon ini yang bosan menjadi sebuah pohon dan berambisi menjadi manusia, karena Baba dan Kimi beranggapan bahwa hidup mereka monoton, mereka hanya bisa diam, tak bisa bergerak leluasa, tak bisa berbicara selayaknya manusia, tak perlu berpikir, tak bisa buang hajat dan tak pernah mengalami kemajuan ataupun kemunduran dalam kehidupan. Tapi disisi lain penulis mengajarkan kita bagaimana pentingnya bersyukur dengan segala yang kita miliki.
Dalam cerita penulis memberikan pernyataan dalam kehidupan kepada pembaca bahwa jika pohon benar-benar bisa berbicara, pohon tersebut menginginkan agar manusia senantiasa menjaga kehidupannya, melingkupinya dengan udara yang baik untuk pernapasan, memupuknya dengan segala kombinasi dari sisa-sisa berbagai bahan mentah dari bumi, tanah, udara, dan cahaya matahari sehingga mereka (para pohon atau tumbuhan) memiliki bentuk-bentuk indah dan bunga yang berwarna-warni.
 Begitu pula, dengan kisah Kimi yang berakhir tragis, persahabatan Kimi dan Baba berakhir dengan cepat. Hanya karena ulah manusia yang sering disebut illegal logging atau menebang pohon tanpa perizinan. Penulis benar-benar membuat pembaca ikut larut dalam kesedihan dengan keadaan Kimi yang tumbang dan Baba yang kini hidup sendiri tanpa teman bercerita. Seakan manusia dengan tega merenggut satu-satunya kebahagian dalam hidup Baba yang datar.
 Dan penulis menyadari para pembaca dengan kenyataan yang jarang kita ketahui bahwa kadang manusia sering berteriak “save our earth!” dan dengan gencar menanam seribu pohon dimana-mana. Padahal pohon itu sendiri tidak mampu lagi menjadi solusi pemanasan global. Karena temperatur yang tinggi akibat perubahan iklim membuat peran pohon-pohon berbalik dari penyerap menjadi produsen gas karbon lewat proses penguraian yang lazim dilakukan pada musim akhir pertumbuhan. Namun dengan keindahan cerita yang ada, sayangnya penulis kurang teliti dalam pemberian judul novel tersebut. “Ketika Daun Bercerita” tak sejalan dengan kisah yang dipaparkan di dalamnya, karena di dalamnya penulis tak menceritakan daun yang bisa bercerita tapi penulis menceritakan sebuah pohon.

                                                                                                                      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah Aku Seegois Ini?

Perasaan Semu

SayHay