Telepon Tak Berasal


-Everybody look to their left. Everybody look their right. Can you feel that? Yeah. We’ll pay them with love tonight. It’s not about the money, money, money. We don’t need your money, money, money.-
Telepon genggam seorang remaja berbunyi pertanda bahwa ada panggilan masuk, tetapi di situ tertera bahwa nomor tak dikenali. Dengan spontan gadis itu menekan tombol berwarna hijau.
 “Hallo, apakah ini Lia?” tanya seseorang laki-laki yang suaranya tak asing bagi Lia.
“Iya, ini siapa?” walau begitu Lia masih belum mengenali suara itu.
Tiba-tiba suara itu menghilang. Telepon itu terputus. Lia masih diam terpaku. Suara itu masih teringat jelas dalam pikirannya. Sebuah tanda tanya besar sekarang menghantui otaknya.
Keesokan harinya, gadis berusia 15 tahun yang sering disapa Lia itu, pergi menemui sahabatnya sekaligus teman sebangkunya  di sekolah.
“Aduh gue tuh penasaran banget, lo tau ga sih suara itu siapa?” ujar Lia sembari menuju kursi panjang di sebuah taman bersama sahabatnya.
“Yaelah Li, mana gue tau! Denger aja nggak..” jawab seorang gadis yang menjadi tempat curahan hati Lia.
“Tapi rasanya suara itu pernah gue denger Nad, tapi gue lupa”
“Mungkin itu cuma perasaan lo aja kali.”
Asik mengobrol di taman, akhirnya Lia memutuskan untuk pulang, karena jam ditangannya sudah menunjukan pukul 16.00 WIB. Saat di perjalanan pulang, telepon genggamnya berbunyi. Tak ada nama yang memberitahu dari siapa telepon tersebut berasal. Suara yang tak asing lagi, kini terdengar lagi di telinganya.
“Hallo ini siapa? Jangan membuat orang lain penasaran.” Suara Lia memulai pembicaraan.
“Kau tak perlu tahu aku siapa, yang jelas aku senang mendengar suara halusmu” kalimat itu mengakhiri pembicaraannya.
“Senang? Suara halus? Kenapa dia mengatakan seperti itu? Memang dia mengenali diriku?” gunggam Lia
Malam ini, angin begitu tenang. Pancaran sinar rembulan menjadi sumber cahaya. Tak ada suara yang terdengar malam ini. Lia masih terduduk di sebuah kursi kayu di depan rumahnya, walaupun malam ini sudah begitu larut. Suara lembut laki-laki itu,masih belum hilang dari benak pikirannya. Otaknya terus berputar, berpikir siapa sebenarnya laki-laki itu. Seketika, terlintas sebuah nama dalam benaknya.
“Dimas? Apakah itu dia? Tapi, mana mungkin.”
Keheningan malam ini terusik ketika  Jessie J mulai mengeluarkan suara andalannya. Gadis itu pun segera mengangkatnya. Tapi, sebelum telepon genggam menempel di telinganya, telepon itu terputus. Waktu berjalan lebih cepat tak seperti yang dipikiran Lia. Jam tangan berwarna kuningnya mengarahkan jarum ke angka 00.15 WIB. Tanpa berpikir lama, gadis SMA itu segera meninggalkan tempat semula dia duduk menuju tempat tidurnya.
Hari ini, rencananya Lia akan mencari tahu keberadaan sosok lelaki yang entah di mana. Beberapa saat Lia mencari, dia berhasil menghubungi sahabatnya yang dekat pula dengan lelaki itu. Sangat disayangkan, sahabatnya tak mengetahui keberadaan lelaki yang pindah waktu itu.
            Walaupun hari itu sudah berlalu, tetap saja sebuah rasa menyesal dan bersalah masih tersimpan di hati Lia. Kini pikirannya menuju pada hari itu “Kalau saja aku tidak melakukan hal itu padanya pasti dia tidak akan marah hingga pindah entah ke mana. Kelakuanku memang sudah kelewatan, aku menghinanya di depan semua orang, aku mencaci makinya habis-habisan.”
            “Dimas, masihkah kau menyimpan rasa kesal kepadaku?” tanya Lia pada dirinya.                           
Saat ku ingin membuka pintu masuk rumahku, sebuah getaran muncul. Seketika, aku mengurungkan niat untuk membuka pintu. Aku lebih memilih mengambil telepon di dalam ranselku. Telepon tak berasal itu kembali.
“Maaf, apa aku mengganggu mu?” suara lembut itu berbunyi.
“Mmm.. tidak.” jawab Lia perlahan.
“Kau tahu, aku sangat senang mendengar suara halusmu.” pujian itu kembali.
Lia terdiam sejenak. Pirasatnya semakin yakin, bahwa itu adalah suara lelaki yang pernah mewarnai hidupnya. DIMAS PRAWIRA adalah sahabatnya yang pindah karena ulah dirinya sendiri.
“Terimakasih kau bilang suara ku halus, Dimas.”
“Apa kau bilang? Dimas?” suaranya heran.
“Tak usah berpura-pura! Kita sudah kenal sejak kecil. Aku sudah ingat sekarang, kau pernah mengatakan bahwa suara ku itu lembut. Benarkan?”
 “Aku sangat senang Lia, karena kau masih ingat padaku.”
“Mmm... Dimas?” tanya Lia dengan nada rendah.
“Iya, kenapa? Apa ada yang aneh?”
“Aku malu denganmu Dimas. Maafkan manusia bodoh ini.Maafkan aku, karena aku pernah hadir dalam hidupmu dan membuat hidupmu hancur. Sebenarnya aku tak pantas bicara denganmu. Kau terlalu baik untuk memaafkanku. Aku yakin kau masih merasakan sakit itu.” ungkap Lia.
“Lia, jika kau masih terselimuti rasa bersalah padaku, lupakan saja hari itu. Rasa sakit itu memang wajar ku rasakan. Tapi aku tidak mau menjadi orang bodoh yang hidup dengan rasa sakit dan malu. Aku sudah melupakannya, aku tidak mau mengingat-ingatnya kembali, rasanya mataku tak bisa menutup ketika mengingat hari itu.”
“Dimas...” panggil Lia
“Iya.”
“Apakah kau benar-benar memaafkan manusia jahat ini?”
“Kau tak jahat Lia, saat itu aku merasa bahwa itu bukan dirimu.” Ujar Dimas.
“Oh, Dimas. Kau memang orang yang baik. Terima kasih untuk segalanya.”
“Tak apa Lia, aku ingin hubungan kita seperti yang dulu? Apakah kau mau?”
“Aku akan menjadi orang yang terbodoh untuk kedua kalinya jika aku berkata tidak.”
            Mulai saat itu, hubungan kedua sahabat yang telah lama terputus kini kembali terjalin lagi seperti dahulu. Kebersamaan merekapun terjalin lebih erat dari sebelumnya. Keduanya kembali, kembali dengan hidup yang bahagia dan ceria. Sebuah cerita yang dahulu menyakitkan kini terkubur dalam-dalam. Mereka yakin bahwa itu akan menjadi pelajaran untuk mereka ke depannya.

PisangKuning

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah Aku Seegois Ini?

Perasaan Semu

SayHay